Selembar Surat Cinta yang Tak Pernah Sampai ke Tangan Pemiliknya (Teruntuk Ibuku, Ibu Kita)


Makassar, 12 Desember 2011
Teruntuk Ibuku….

Bu, aku tahu ini agak sedikit klasik dan aneh. Kita baru saja bertukar pandang sebulan lalu, kita baru saja bertukar suara saat fajar kemarin, tapi aku ingin mengirim selembar ukiran kata ini padamu. Mungkin karena aku terlalu cepat rindu, mungkin karena ada beribu hal yang tak dapat kuungkapkan jika harus berhadapan dengan tatapan dan suaramu. Beribu hal yang mungkin aku sendiri tak tahu, sebelum akhirnya berani menuliskan ini
Bu, kau ingat bulan ini? Beberapa hari lagi teman-temanku akan mengakhiri masa-masanya di kampus. Menutup masa-masa itu dengan acara wisuda yang kutahu bayangannya selalu kau sematkan padaku sejak pertama kali aku meninggalkan rumah kita. Tapi, aku hanya ingin bilang, Bu. Kau takkan melihat wajah tirusku di deretan orang-orang itu. Karena kali ini, aku kembali gagal. Aku tak seberuntung mereka. Kau selalu ingat kata ini, kan? Aku selalu mengucapkannyawaktu SMA dulu. 

Maaf karena kubuka surat ini dengan kata-kata pemudar senyum yang kutahu takkan sanggup kuucap bila di depanmu. Aku hanya tak ingin kau terlalu berharap.Karena aku tak sehebat yang kau pikirkan, Bu. Aku gagal berkali-kali di tempat yang sama karena hal yang tak berbeda. Aku tak seperti apa yang kuucapkan untukmembuatmu bangga, aku tak sehebat itu. 

Bu, bagaimana keadaanmu? Bagaimana denganrumah kita yang tak selalu benderang? Bagaimana keluarga kita yang tak selalu tersenyum? Adik-adikku? Apakah mereka membuatmu lelah? Apakah mereka membuatmu lupa cara tersenyum atau lupa cara melepas lelah? Aku khawatir, karena aku tahukau selalu mengerjakan sesuatu sendirian. Tak ingin memerintah kami bila kaumerasa sanggup mengerjakannya.

Apakau masih seperti itu? Aku ingin berada di sana, Bu. Seandainya kau tahu, aku ingin menghapus lelah pada tiap kerut di wajahmu yang semakin bertambah.  Aku ingin menggantikanmu merasakan lelah. Tapi kau tahu kan, Bu. Aku bukanlah orang yang romantis. Akutak seperti anak lain yang tahu cara membahagiakan Ibunya. Aku tak begitu. Akutak tahu cara memelukmu agar kau melupakan sakit hati yang kian memburuk. Aku tak tahu cara menghibur yang bisa membuatmu kembali tertawa. Tapi seiring dengan surat ini, kuingin kau tahu selalu, tentang rasa cinta ini, rasa yang menumpuk dijantungku –padamu- yang tak pernah bisa lepas dari sarangnya.

Sejenak,di waktu-waktu senggangku yang mulai menipis, aku memikirkan banyak hal. Aku lupa, apa yang kita lakukan di hari-hari kebersamaankita dulu? Karena sibuk, aku bahkan mungkin tak menyapamu dua kali dalam sehari. Di saat jarak panjang tergelar antara kita, aku merindukannya.Merindukan hari-hari kebersamaan kita yang tak selalu tentram. Saat aku belum terlalu paham, kalau ada hal-hal kecil yang terkadang tak kusadari membuatmu mendesah lelah bercampur sedih. Saat itu aku masih anak-anak. Tapi ternyata aku terlalu kekananak-kanakan dibanding anak lain. Aku baru tahu,mungkin karena aku terlalu membutuhkanmu disisiku, terlalu bergantung padamu.Dan sekarang saat kau tak lagi ada, aku mengidap rasa kikuk yang berlebih.Rasanya aneh menjalani hari tanpamu.

Bu,apa makanan kesukaanmu? Dari dulu, aku selalu lupa menanyakan itu.  Tapi akhir-akhir ini, aku begitu ingin tahu.Kau selalu membuatkan makanan kesukaanku, bahkan jika aku hanya berkata,“Rasanya aku mau makan….” Kau tahu aku suka makanan pedas, kau tahu aku suka makanan asam. Kau paling tahu, kalau semua masakanmu  adalah favoritku. Entah kenapa. Sekalilagi, Bu. Aku ingin tahu, apa yang kau suka?  Kau paling tahu aku tak begitu bisa memasak apapun. Tapi, aku berencana akan kursus memasak.  Aku serius. Agar jika kau berkata, “Rasanyaaku ingin ….” Aku akan segera meluncur ke dapur dan kembali dengan masakanku.

Dalam surat ini, ingin sekali kukirimkan ucapan kasih dan terima kasih. Di masa kecilku, kau mengajarkanku mengenal Tuhan. Membuatku berbeda dengan anak lain yang tak tahu berkata pelan dan sopan. Menjadi imam sholatku saat Ayah tak ada. Meskipun aku selalu mengeluh, sholat Ibu terlalu lama. Aku menyesal sekarang. Karena aku baru tahu, di setiap sujud lama yang kau lakukan itu, ada namaku. Aku baru sadar, saat rentetan do’amu dikabulkanNya satu persatu. Aku menyesal kenapa dulu aku tak memintamu mengajarkanku sholat dan sujud lebih lama dan khusyuk. Karena kini, di setiap do’a dalam sujudku,aku mulai menyebut namamu tanpa henti. Aku hanya takut, aku bukan anak sholehahyang do’anya terkabulkan. Tapi aku ingin membuatnya begitu.

Bu, bagaimana jika waktu mengujiku dengan kegagalan? Seperti saat ini. Kadang aku berpikir untuk menyerah dan membiarkan sisa asaku terseret  sapuan waktu. Namun, jika aku teringat wajah sendu yang mungkin akan menghiasi hari-harimu setelahnya, tiba-tiba membuatku sakit hati. Karenanya, aku tak berpikir lagi untukmenyerah. Kau tidak tahu, kan? Jika sesuatu yang akan menyakitimu itu teryata aku pelakunya. Aku juga tidak tahu. Tapi seiring rentetan waktu berlalu tanpa kabar kesuksesanku, aku tahu aku pelakunya.

Masih banyak ungkapan hati yang harus kulontarkan saat ini. Tapi,  kadang-kadang tulisan di atas kertas pun takmampu berbicara. Oleh karenanya, bersama surat ini kukirim angin rindu dan kabar tentang jiwa kesepianku yang tak pernah beranjak sejak dahulu.

Tentang wajah-wajah senyum kita yang membuat mimpiku terasa bernyawa.Tentang  pedihnya cerita-cerita hidup dimasa lalu yang sering kau ajarkan setiap di setiap pertemuankita. Dan banyak lagi…, aku ingin mengulanginya, dalam barisan masa yangpanjang di mana kita tak lagi takut waktu cepat berlalu.

Bu ,titip salam untuk Ayah. Aku tahu kau akan lebih bijak mengatakan kepadanya tentang kegagalanku ini. Satu hal yang mungkin harus kautahu, Ayah menurunkan sifatnya padaku. Sifat keras yang membuat hatimu sempat terluka berkali-kali.  Aku sama dengannya, kami tak mampu berkata dengan bebas, “Aku sayang padamu,”  karena rasa yang kami rasakan lebih besar dari itu. Bahkan jika kami mulai keras kepala dan membuatmu menangis, pada saat yang bersamaan hati kami terkoyak dua kali lebih sakit, tapi kami pun tak bisa seperti orang lain dan berkata dengan cepat, “Maaf…,” kami tak seperti itu. Karena kami bukan perangkai kata yang handal. Kami hanya pemilik rasa yang susah mengungkapkannya pada manusia yang paling kami cintai, yaitu kau Ibuku.

Aku masih senang, karena kita dipayungi langit yang sama. Meskipun langit di sana mungkin lebih  biru dan tenang.  Aku senang, Allah memberi waktu panjang padaku bersamamu. Lalu setelahnya, memberi kesempatan padaku untukmengukir berjuta senyum di bibir-bibir kita.

Salam sayang anakmu,
-Inayah-