Novel Kedua di Tahun 2014 (Coming soon, Januari 2014)



Pernah seseorang bertanya padaku, untuk apa aku menulis di tengah banyaknya aktivitas yang telah menghabiskan sisa tenagaku setiap harinya.

Kujawab: karena hal itu adalah satu-satunya kepingan cita-citaku yang tertinggal, setelah yang lainnya punah oleh kegagalan.

Aku selalu memulai pagi dengan banyak kisah yang berentetan di kepalaku. Kemudian selanjutnya aku memikirkan, bagaimana kisah-kisah itu menemukan jiwa-jiwa yang bisa meneruskannya di atas kertas, pada sebuah buku, novel atau mungkin kisah yang tidak beruntung hanya akan berakhir dengan khayalan. Tapi kali ini aku bersyukur karena Tuhan memberiku kesempatan untuk menciptakan kisah ini. Dengan begitu, aku bisa berbagi tentang sebagian isi kepalaku pada kalian.


(Me)mories


“Kau hanya perlu melakukan satu hal, Ries.”
Cukup merindukanku sekali saja, karena dengan begitu aku akan punya alasan untuk datang dan mencintaimu sebanyak yang aku mau.”


Bisakah kubercerita?
Tentang bagaimana caraku merawat luka?
Bagaimana aku menghapus peluh pada wajah cinta kita, yang bahkan kulakukan sejak pertama kali ia menetaskan dirinya  dari rahim rasa. Aku ingin bercerita, tapi bahkan kau pun tak boleh tahu. Ini hanyalah tentang sesuatu. Sesuatu yang berwarna seperti pelangi. Pelangi yang kehilangan warna saat ia berusaha bertahan, sekaligus pelangi yang kehilangan makna ketika ia berusaha lepas.

Dan kali ini, aku mulai memahami. Bahwa cinta yang kumulai, selalu mengakhiri dirinya sendiri tanpa izin dariku. Karenanya, aku lelah dan ingin berhenti.

Tapi…

Bila hari kembali sekali lagi, maukah kau kembali memilih?

Sebab, pernah suatu saat aku mencoba membayangkan masa depanku.

Kau tahu?
Membayangkan masa depanku tanpa ada kau di dalamnya, rasanya sangat aneh.

Resensi Novel: Jasmine (Cinta yang Menyembuhkan Luka)

Judul Buku : Jasmine, Cinta Yang Menyembuhkan Luka
Penulis : Riawani Elyta
ISBN : 978-602-8277-91-4
Penerbit : INDIVA Media Kreasi
Tebal Buku : 320 halaman
Ukuran : 19 cm
Harga Buku : Rp42.000,-
Jasmine dan Dean adalah dua orang yang saling mencintai di balik segala konflik dan masalah yang melingkupi mereka. Rasa kesepian membuat mereka saling memiliki. Namun semua itu tidak dapat berjalan seindah rencana mereka. Dean masih berkubang dalam lingkaran kejahatan yang dibuatnya sendiri dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Sementara Jasmine juga tak bisa lepas dari bayangan masa lalu yang menghantuinya.


Dean adalah seorang cracker handal yang telah membentuk sebuah jaringan yang beroperasi di bawah perintahnya. Mereka menjulukinya The Prince, otak dari jaringan tersebut sekaligus orang yang paling mereka andalkan. Mereka melakukan pembobolan kartu kredit, pemalsuan identitas dan banyak hal lain yang dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
 Jasmine sendiri harus mendapati dirinya terdampar pada sebuah yayasan sosial, namun pada akhirnya menemukan secercah cahaya di sana. Ia belajar banyak dari wanita bernama Malika. Meskipun  akhirnya ia kabur dari tempat itu karena nalurinya yang senantiasa waspada memberi peringatan kalau dirinya sedang berada dalam zona tak aman. Di sisi lain, seorang wanita bernama Rowena sedang mencari putrinya yang menghilang secara tiba-tiba. Gadis bernama Raisa yang ternyata memiliki banyak kemiripan dengan Jasmine.
Dean dan Jasmine bertemu dalam keadaan yang tak memungkinkan mereka untuk bersama. Mereka akhirnya terpisah untuk sementara dan hidup dengan cara mereka masing-masing sebelum sebuah takdir kembali mempertemukan mereka. Tapi pertemuan tersebut ternyata tak bermakna kebersamaan, melainkan sebuah jalan yang telah diatur  untuk mengakhiri konflik berkepanjangan  yang mengungkung hidup mereka selama ini. Jasmine harus kembali berurusan dengan orang-orang yang tak tak menghendaki keberadaannya dan membuatnya dilema antara ingin membantu Dean atau menuruti kata hatinya untuk mengungkap kebenaran yang dapat mengakibatkan pria itu mendekam lama di sel tahanan.
Apakah akhirnya mereka dapat memiliki waktu bersama lebih lama saat Jasmine akhirnya kembali menyadari bahwa perbedaan di antara mereka terlalu jauh terbentang?
***
Novel ini merupakan novel kedua dari penulis yang saya baca. Mbak Riawani Elyta merupakan salah satu penulis yang cukup produktif menghasilkan berbagai novel. Tulisan-tulisan penulis, menurut kaca mata saya sebagai pembaca, sarat dengan idealisme yang sebetulnya mencerminkan kepribadian dan prinsip besar yang dipegang teguh di setiap tulisannya. Idealis dan tetap produktif menghasilkan karya merupakan dua hal yang tak mudah namun justru akan menunjang umur panjang seorang penulis dan tentunya mendatangkan kepuasan batin bagi penulis itu sendiri.
Seperti biasa, penulis mengangkat tema-tema yang jarang diangkat penulis lain dalam sebuah novel roman. Tema segar yang memuat isu tentang Cybercrime, Human Trafficking serta HIV/AIDS. Tema yang lumayan rumit namun berhasil dirangkai penulis menjadi sebuah cerita inspiratif yang mungkin dapat mengasah kepekaan serta mengubah sedikit paradigma kita dalam memandang masalah-masalah di atas.
Karya ini, lagi-lagi menghadirkan sebuah setting kuat yang dibangun penulis dari sebuah kota yang saat ini sedang berkembang pesat di Kepulauan Riau sana. Latar belakang penulis yang memang berpotensi menguasai latar tempat dalam cerita (Kota Batam) merupakan salah satu unsur penting yang membuat setting tempatnya terasa lebih nyata. Hal ini  berhasil dieksplor penulis dan dimasukkannya dengan sangat rapi ke dalam elemen-elemen cerita, bergumul dengan konflik serta karakter tokoh dan  akhirnya menciptakan suatu paduan yang utuh.
Label “Pemenang Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva” merupakan salah satu daya tarik yang membuat saya akhirnya memilih memasukkan novel ini dalam daftar bahan bacaan penutup tahun 2013. Berharap di dalamnya akan ada kisah yang membuat saya terkesan dan membuatnya layak menjadi kisah penutup berbagai rangkaian cerita yang saya baca di sepanjang tahun ini. Dan harus saya akui, pilihan ini ternyata sama sekali tidak salah. Novel ini, dengan segala keunikannya berhasil membawa saya berpetualang menjelajahi ruang-ruang cerita yang tidak mainstream dan tentu membekaskan banyak hal dalam benak setiap pembacanya. Saya akhirnya paham alasan mengapa novel ini terpilih menjadi salah satu pemenang lomba Indiva.
Tokoh sentral dalam novel ini ada dua, yaitu Dean Pramudya dan Jasmine. Mereka memiliki karakter yang kuat dan dapat menarik simpati pembaca untuk terus menyelami watak keduanya. Keduanya sama-sama introvert dan sulit meleburkan diri dalam interaksi sosial dalam bentuk apapun. Dean memiliki konflik dengan keluarga dan jati dirinya, Jasmine memiliki konflik dengan masa lalu yang ingin ditenggelamkannya dalam-dalam hingga tak lagi terjangkau oleh memorinya. Bedanya, kalau Jasmine terjebak dalam masalah yang rumit karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung, Dean malah memilih melepaskan diri dari lingkaran kekayaan ayahnya yang membuatnya terbelenggu dan kesepian. Hubungan keduanya terkesan misterius sebab penulis memang sejak awal tidak secara gamblang menjelaskan bentuk hubungan mereka, namun terlebih dahulu memperkenalkan kita dengan masalah-masalah pelik yang dihadapi Dean dan Jasmine.
Karakter Jasmine yang keras dan tertutup memiliki latar belakang dan alasan yang cukup kuat yang pada akhirnya akan diungkapkan penulis di akhir cerita. Dean yang berkarakter dingin, ambisius dan cerdas juga memiliki alasan mengapa ia akhirnya terjebak dengan pilihannya yang sering kali bertentangan dengan keinginan orang banyak.  Tokoh pendukung lain seperti Rowena, Ioran, Luthfi dan Malika juga memegang peranan penting dalam perkembangan cerita. Tokoh Malika yang muncul cukup singkat bahkan membuat suatu perubahan berarti dalam karakter Jasmine. Ioran yang menjadi salah satu juru kunci perkembangan konflik yang dialami Dean, Luthfi dan Rowena sebagai tokoh yang mengawal perkembangan karakter hingga  akhir. Masing-masing tokoh memiliki porsi yang pas dalam penceritaannya sehingga tak ada tokoh yang muncul sia-sia dan hanya memperpanjang cerita.
Alurnya cepat, padat dan teratur, ada sedikit flashback yang memungkinkan pembaca mengerti isi kepala para tokoh. Plot cerita disusun sedemikian rupa hingga menghasilkan cerita yang runut dan logis. Semua benang kusut yang membentang sepanjang cerita akhirnya menemukan penyelesaian di akhir dan hal itu membuat pembaca dapat menutup novel dengan rasa puas.
Novel ini juga memunculkan berbagai tanda tanya di benak pembaca dan membuat kami tak ingin berhenti hingga misteri itu terkuak sepenuhnya. Dan akhirnya, harus saya akui bahwa twist yang dimunculkan penulis lumayan membuat saya terkecoh. Satu twist kecil dan dan twist besar yang keduanya terkait Bu Rowena membuat saya merasa tertipu dan mengecek kembali halaman-halaman sebelumnya. Akhirnya saya menyerah bahwa kejutan yang dibuat penulis memang logis dan tidak bertentangan dengan logika yang dipaparkan sebelumnya.
Di balik kelebihan tersebut, sebuah karya fiksi tentu memiliki keterbatasan dan juga mengandung beberapa kekurangan, termasuk novel ini. Salah satu kekurangan dari novel ini, yaitu adanya penggambaran fisik Dean yang berulang kali disebutkan penulis sebagai pria yang tampan. Sebaiknya penggambaran ini bisa diganti dengan deskripsi lain yang memiliki arti yang sama atau mungkin bentuk penggambaran yang memungkinkan pembaca membayangkan tampilan fisik tokoh tanpa perlu menyebutkan kata ‘tampan’ berulang kali.
Sinopsis novel menyebutkan bahwa tokoh Dean adalah tokoh yang menebar petaka namun masih tersisa sepenggal nurani dalam jiwanya. Namun sangat di sayangkan, dalam novel ini, baru pada halaman 240 terdapat gambaran bahwa Dean memiliki sisi lain yang sebetulnya  rapuh. Pada halaman tersebut Dean tiba-tiba saja merindukan Dzat penciptanya tanpa adanya pergolakan batin yang diceritakan sebelum-sebelumnya. Penulis fokus pada pergolakan batin Jasmine dan mungkin mengabaikan gambaran tentang Dean yang seharusnya masih memiliki nurani dalam jiwanya seperti yang disebutkan dalam sinopsis.
Masalah keluarga yang seharusnya selesai pada halaman terakhir juga masih menyisakan tanda tanya dalam benak pembaca. Apakah akhirnya Dean dapat berdamai dengan keluarganya atau tetap seperti dulu. Hidayah yang diperoleh Dean saat dalam penjara pun tidak dijelaskan lebih lanjut. Mungkin ini berkaitan dengan Open ending yang dipilih penulis untuk mengakhir cerita. Sehingga pembaca diberi ruang untuk menjabarkan sendiri akhir dari cerita tersebut.
Sebagai seorang pembaca, saya benar-benar terhibur dengan novel ini. Tidak hanya terhibur, tapi juga salut dengan konsistensi penulis dalam membangun cerita sekaligus memasukkan idealisme di dalamnya. Ide-ide yang tak biasa dan juga penuturan cerita yang indah khas Riawani Elyta membuat kalian layak membaca dan memiliki novel ini.
4,5 from 5 stars.

Resensi Novel: A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan)




Judul Buku         : A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan)
Penulis                : Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Penerbit              : Indiva Media Kreasi
Tebal Buku         : 304 halaman
Ukuran Buku     : 19 cm
ISBN                  : 978-602-8277-88-4
Harga Buku        : Rp39.000,-



Tara dan Raffi adalah pemilik sebuah Bakery  di Batam. Hubungan mereka yang tadinya sepasang sepupu, kemudian berkembang menjadi calon pasangan yang berencana untuk segera meresmikan hubungan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun dalam hati, Tara senantiasa diliputi keraguan oleh kenangannya terhadap seseorang yang pernah berada di antara mereka, pernah menjadi bagian dari Bread Time Bakery dan pernah mendapat tempat di hatnya. Orang itu adalah Hazel.
Kisah ini kemudian berlanjut dengan flashback ke cerita awal saat Tara seringkali melihat Hazel di Bakery setiap pagi, memesan minuman yang sama dan mengerjakan hal yang sama pula. Sampai suatu saat ketika keadaan mengharuskan mereka terlibat dalam urusan pekerjaan, saat Hazel akhirnya diterima bekerja di Bakery itu. Raffi terlihat mulai berubah dan tidak terlalu menyenangi Hazel.
Di sisi lain, juga diceritakan tentang Diaz yang sejak awal terlihat memegang peranan penting dalam cerita ini. Lelaki ini memiliki masa lalu yang kelam dan membuatnya harus terlibat sindikat perdagangan illegal. Seiring dengan cerita Diaz tersebut bergulir, masalah demi masalah mulai menimpa Bread Time sejak Hazel bergabung. Raffi mulai mengendus ada yang tidak beres dengan hal ini dan malah melayangkan kecurigaannya pada Hazel. Tara tidak serta merta menerima tuduhan tersebut dengan alasan bahwa tuduhan tersebut tak beralasan dan tetap mencoba untuk menjaga agar perasaannya untuk Hazel tak tampak oleh Raffi yang ternyata diam-diam mencintainya.
Bagaimana kelanjutan kisah Tara, Hazel, Raffi dan Diaz selanjutnya? Apakah Bread Time akan tetap bertahan dengan rentetan masalah yang menimpanya? Dan apa sebetulnya hubungan antara Hazel dan Diaz serta kaitannya dengan sindikat illegal trading?
***
Novel ini adalah novel pertama Mbak Riawani dan Mbak Rika yang saya baca.Latar belakang Mbak Rika sabagai seorang pengusaha bidang kuliner dan Mbak Riawani yang memang berdomisili di Kepulauan Riau membuat novel ini semakin kaya dengan setting tempat terasa nyata digambarkan oleh penulisnya.  Penulisan mereka pun menyata dan kita tidak dapat menguraikan bagian-bagian tertentu yang merupakan bagian masing-masing penulis.

Saat membaca bab-bab pertama, terkait karakter dan interaksi tokoh-tokohnya, serta konsep Bakery yang mereka usung, saya bisa langsung  menebak  ke arah mana novel ini akan dibawa.  Bukan sekadar fiksi islami yang mendompleng gambar wanita berjilbab namun tidak mencerminkan pola pergaulan islami di dalamnya.
Novel ini  menuntaskan kerinduan saya pada novel bergenre romance inspiratif di tengah menjamurnya novel-novel romance dengan tema sejenis dengan konflik yang itu-itu saja. Penulis berhasil menyuguhkannya dengan cara berbeda dan saya yakin penulis ini memang punya ciri khasnya sendiri.
Cerita tak hanya berkutat pada intrik dan konflik percintaan mononton yang akhirnya tak membekaskan sesuatu yang bermakna  di dalam benak pembaca. Beberapa  yang jarang disuguhkan dalam novel-novel roman lain seperti perdagangan ilegal, kreativitas dalam membangun suatu usaha, hingga detail rutinitas dan konflik yang biasanya terjadi dalam sebuah kedai roti (bakery) tergambar jelas di sini. Penulis banyak meninggalkan pesan-pesan moral dan banyak hal yang berkaitan dengan akidah tanpa terkesan menggurui atau mendakwahi pembacanya.
Alurnya berjalan lambat di awal namun menjadi lebih cepat di akhir sehingga pembaca tidak jenuh dengan perpindahan konflik yang lambat. Bahasanya indah namun tak terlalu mendayu-dayu bahkan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya.Konfliknya menarik dan menyuguhkan banyak hal baru serta pesan moral di mana kedua hal ini biasanya sulit diterapkan pada novel yang fokus pada konflik percintaan semata.
Setting tempatnya digambarkan berada di Kota Batam, lokasi Bread Time serta penggambaran desain interiornya cukup mendetail. Bahkan saya bisa membayangkan berada di dalamnya.  Menghirup aroma roti yang masih hangat serta menyeruput secangkir Cinnamon Cappucino dan merasakan sensasi pedas dari serbuk kayu manis yang merupakan minuman kesukaaan Hazel itu.
Karakter Tara cukup memcerminkan ciri khas muslimah kebanyakan jika dilihat dari kepedulian dan prinsip yang dianutnya. Tapi selain itu, penulis memberikan poin tambahan berupa sikap keras kepala, kreatif, cerdas dan mandiri sehingga tokoh ini memiliki karakter yang kuat dan tidak monoton.  Hazel sendiri digambarkan sebagai lelaki bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarganya. Di masa lalu, kekecewaan pada teman-teman rohisnya akhirnya membuat ia memilih untuk meninggalkan lingkaran ukhuwah yang pernah membuatnya nyaman berada di dalamnya. Tapi tetaplah Hazel yang hanif meskipun di sisi lain, keadaan mengharuskannya terlibat suatu hal yang memungkinkan ia dapat menghancurkan seseorang dan dirinya sendiri, Sedangkan Raffi adalah sosok lelaki cerdas yang memiliki idealismenya sendiri, sedikit protektif dan posesif pada Tara dan kadang kala tidak dapat mengendalikan emosinya.
Masing-masing karakter sentral memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari segi fisik, Tara jelas digambarkan berkulit cerah, charming,  modis  tapi tetap syar’i. Raffi sendiri digambarkan berkulit putih dengan penampilan ala eksekutif muda serta berwajah tampan. Hazel memiliki kulit pucat, jangkung, bermata sipit. Semuanya digambarkan dengan lengkap sehingga kita bisa membayangkan wujud masing-masing tokoh tersebut.
Hal yang kemudian sedikit rancu dari gambaran fisik ini yaitu pada saat penulis mengatakan berkali-kali bahwa Hazel memiliki sepasang mata cokelat yang diturunkan dari Ibunya. Padahal pada awal bab, saat Raffi menggambarkan Hazel, dikatakan bahwa lelaki itu memiliki sepasang mata dengan bola mata hitam yang dominan. Ketidakkonsistenan ini tidak mengganggu namun dapat menjadi clue yang menyesatkan saat pembaca ingin mengira-ngira hubungan antara Diaz dan Hazel.
Salah satu kelebihan lain dari  buku ini adalah konfliknya yang berat namun dituntaskan dengan baik setelah rentetan permasalahan yang menimpa tokoh utamanya satu demi satu. Fokus cerita ini berpindah dari Tara, Hazel dan Diaz. Ketiganya memiliki porsi yang hampir sama dalam novel ini. Namun bagi sebagian pembaca yang cukup jeli, mereka dapat menebak hubungan antar Hazel dan Diaz dengan mudah hingga mengurangi rasa penasaran terhadap hubungan keduanya Padahal salah satu poin yang bisa membuat novel ini kian menarik yaitu saat pembaca terkecoh dan menebak-nebak hingga saat penulis benar-benar ingin mengungkapkan semuanya pada pembaca. Sayangnya clue yang dibuat penulis mulai tertebak saat acara interview yang diadakan Bread Time pada Hazel saat itu.
Pada bab-bab menjelang ending, penulis berhasil menyampaikan emosi tokoh-tokohnya dengan baik dan dengan porsi yang pas. Penempatan Flashback setelah epilog merupakan hal yang baru. Merupakan pilihan yang cukup bagus sebab penempatannya pada pertengahan cerita justru akan terasa bertele-tele saat pembaca sudah sangat ingin bertemu dengan epilog. Meskipun demikian, ada hal-hal yang tidak terjawab terkait kasus Hazel dengan kepolisian serta keadaan keluarganya pasca kecelakaan naas itu. Apakah penemuan bukti berupa ponsel itu merupakan jawaban yang menyiratkan bahwa Hazel terbebas dari segal tuduhan atau mungkin Hazel telah ditahan sebelum akhirnya mendirikan usahanya sendiri. Hal ini belum menemukan jawabannya.
Ending cerita yang menggantung bisa menjadi poin positif atau negatif. Positif, saat pembaca memilih untuk membiarkan kisah mereka tetap seperti itu dan menunggu waktu menuntaskan urusan perasaan kedua tokoh. Namun menjadi negatif saat pembaca malah merasa penantiannya akan pilihan Tara sejak prolog itu ternyata tak mendapatkan jawaban. Namun sesungguhnya, beberapa kalimat menjelang akhir, serta puisi penulis yang sangat indah telah memberikan jawaban atas kisruh  berkepanjangan di hati Tara secara implisit. Seandainya kita pandai menelaah kata demi kata dan menerjemahkannya dengan baik.

Selembar Surat Cinta yang Tak Pernah Sampai ke Tangan Pemiliknya (Teruntuk Ibuku, Ibu Kita)


Makassar, 12 Desember 2011
Teruntuk Ibuku….

Bu, aku tahu ini agak sedikit klasik dan aneh. Kita baru saja bertukar pandang sebulan lalu, kita baru saja bertukar suara saat fajar kemarin, tapi aku ingin mengirim selembar ukiran kata ini padamu. Mungkin karena aku terlalu cepat rindu, mungkin karena ada beribu hal yang tak dapat kuungkapkan jika harus berhadapan dengan tatapan dan suaramu. Beribu hal yang mungkin aku sendiri tak tahu, sebelum akhirnya berani menuliskan ini
Bu, kau ingat bulan ini? Beberapa hari lagi teman-temanku akan mengakhiri masa-masanya di kampus. Menutup masa-masa itu dengan acara wisuda yang kutahu bayangannya selalu kau sematkan padaku sejak pertama kali aku meninggalkan rumah kita. Tapi, aku hanya ingin bilang, Bu. Kau takkan melihat wajah tirusku di deretan orang-orang itu. Karena kali ini, aku kembali gagal. Aku tak seberuntung mereka. Kau selalu ingat kata ini, kan? Aku selalu mengucapkannyawaktu SMA dulu. 

Maaf karena kubuka surat ini dengan kata-kata pemudar senyum yang kutahu takkan sanggup kuucap bila di depanmu. Aku hanya tak ingin kau terlalu berharap.Karena aku tak sehebat yang kau pikirkan, Bu. Aku gagal berkali-kali di tempat yang sama karena hal yang tak berbeda. Aku tak seperti apa yang kuucapkan untukmembuatmu bangga, aku tak sehebat itu. 

Bu, bagaimana keadaanmu? Bagaimana denganrumah kita yang tak selalu benderang? Bagaimana keluarga kita yang tak selalu tersenyum? Adik-adikku? Apakah mereka membuatmu lelah? Apakah mereka membuatmu lupa cara tersenyum atau lupa cara melepas lelah? Aku khawatir, karena aku tahukau selalu mengerjakan sesuatu sendirian. Tak ingin memerintah kami bila kaumerasa sanggup mengerjakannya.

Apakau masih seperti itu? Aku ingin berada di sana, Bu. Seandainya kau tahu, aku ingin menghapus lelah pada tiap kerut di wajahmu yang semakin bertambah.  Aku ingin menggantikanmu merasakan lelah. Tapi kau tahu kan, Bu. Aku bukanlah orang yang romantis. Akutak seperti anak lain yang tahu cara membahagiakan Ibunya. Aku tak begitu. Akutak tahu cara memelukmu agar kau melupakan sakit hati yang kian memburuk. Aku tak tahu cara menghibur yang bisa membuatmu kembali tertawa. Tapi seiring dengan surat ini, kuingin kau tahu selalu, tentang rasa cinta ini, rasa yang menumpuk dijantungku –padamu- yang tak pernah bisa lepas dari sarangnya.

Sejenak,di waktu-waktu senggangku yang mulai menipis, aku memikirkan banyak hal. Aku lupa, apa yang kita lakukan di hari-hari kebersamaankita dulu? Karena sibuk, aku bahkan mungkin tak menyapamu dua kali dalam sehari. Di saat jarak panjang tergelar antara kita, aku merindukannya.Merindukan hari-hari kebersamaan kita yang tak selalu tentram. Saat aku belum terlalu paham, kalau ada hal-hal kecil yang terkadang tak kusadari membuatmu mendesah lelah bercampur sedih. Saat itu aku masih anak-anak. Tapi ternyata aku terlalu kekananak-kanakan dibanding anak lain. Aku baru tahu,mungkin karena aku terlalu membutuhkanmu disisiku, terlalu bergantung padamu.Dan sekarang saat kau tak lagi ada, aku mengidap rasa kikuk yang berlebih.Rasanya aneh menjalani hari tanpamu.

Bu,apa makanan kesukaanmu? Dari dulu, aku selalu lupa menanyakan itu.  Tapi akhir-akhir ini, aku begitu ingin tahu.Kau selalu membuatkan makanan kesukaanku, bahkan jika aku hanya berkata,“Rasanya aku mau makan….” Kau tahu aku suka makanan pedas, kau tahu aku suka makanan asam. Kau paling tahu, kalau semua masakanmu  adalah favoritku. Entah kenapa. Sekalilagi, Bu. Aku ingin tahu, apa yang kau suka?  Kau paling tahu aku tak begitu bisa memasak apapun. Tapi, aku berencana akan kursus memasak.  Aku serius. Agar jika kau berkata, “Rasanyaaku ingin ….” Aku akan segera meluncur ke dapur dan kembali dengan masakanku.

Dalam surat ini, ingin sekali kukirimkan ucapan kasih dan terima kasih. Di masa kecilku, kau mengajarkanku mengenal Tuhan. Membuatku berbeda dengan anak lain yang tak tahu berkata pelan dan sopan. Menjadi imam sholatku saat Ayah tak ada. Meskipun aku selalu mengeluh, sholat Ibu terlalu lama. Aku menyesal sekarang. Karena aku baru tahu, di setiap sujud lama yang kau lakukan itu, ada namaku. Aku baru sadar, saat rentetan do’amu dikabulkanNya satu persatu. Aku menyesal kenapa dulu aku tak memintamu mengajarkanku sholat dan sujud lebih lama dan khusyuk. Karena kini, di setiap do’a dalam sujudku,aku mulai menyebut namamu tanpa henti. Aku hanya takut, aku bukan anak sholehahyang do’anya terkabulkan. Tapi aku ingin membuatnya begitu.

Bu, bagaimana jika waktu mengujiku dengan kegagalan? Seperti saat ini. Kadang aku berpikir untuk menyerah dan membiarkan sisa asaku terseret  sapuan waktu. Namun, jika aku teringat wajah sendu yang mungkin akan menghiasi hari-harimu setelahnya, tiba-tiba membuatku sakit hati. Karenanya, aku tak berpikir lagi untukmenyerah. Kau tidak tahu, kan? Jika sesuatu yang akan menyakitimu itu teryata aku pelakunya. Aku juga tidak tahu. Tapi seiring rentetan waktu berlalu tanpa kabar kesuksesanku, aku tahu aku pelakunya.

Masih banyak ungkapan hati yang harus kulontarkan saat ini. Tapi,  kadang-kadang tulisan di atas kertas pun takmampu berbicara. Oleh karenanya, bersama surat ini kukirim angin rindu dan kabar tentang jiwa kesepianku yang tak pernah beranjak sejak dahulu.

Tentang wajah-wajah senyum kita yang membuat mimpiku terasa bernyawa.Tentang  pedihnya cerita-cerita hidup dimasa lalu yang sering kau ajarkan setiap di setiap pertemuankita. Dan banyak lagi…, aku ingin mengulanginya, dalam barisan masa yangpanjang di mana kita tak lagi takut waktu cepat berlalu.

Bu ,titip salam untuk Ayah. Aku tahu kau akan lebih bijak mengatakan kepadanya tentang kegagalanku ini. Satu hal yang mungkin harus kautahu, Ayah menurunkan sifatnya padaku. Sifat keras yang membuat hatimu sempat terluka berkali-kali.  Aku sama dengannya, kami tak mampu berkata dengan bebas, “Aku sayang padamu,”  karena rasa yang kami rasakan lebih besar dari itu. Bahkan jika kami mulai keras kepala dan membuatmu menangis, pada saat yang bersamaan hati kami terkoyak dua kali lebih sakit, tapi kami pun tak bisa seperti orang lain dan berkata dengan cepat, “Maaf…,” kami tak seperti itu. Karena kami bukan perangkai kata yang handal. Kami hanya pemilik rasa yang susah mengungkapkannya pada manusia yang paling kami cintai, yaitu kau Ibuku.

Aku masih senang, karena kita dipayungi langit yang sama. Meskipun langit di sana mungkin lebih  biru dan tenang.  Aku senang, Allah memberi waktu panjang padaku bersamamu. Lalu setelahnya, memberi kesempatan padaku untukmengukir berjuta senyum di bibir-bibir kita.

Salam sayang anakmu,
-Inayah-