Cerpen: Nenek Pakande
Hari
beranjak gelap ketika seorang wanita yang sudah lanjut usia, menggiring kisah
dongengnya mendekati akhir cerita. Anak-anak polos berwajah kecil itu mendengar
dan nyaris tak berkedip. Meskipun cerita itu telah mereka dengar dengan
berbagai versi berbeda, mendengarkannya sekali lagi tetap saja membuat bulu
kuduk merinding.
Lambat laun rambutnya
semakin memutih, kulit wajahnya semakin berkerut dan ia pun tampak semakin
menua. Ilmu hitam itu merenggut tanda-tanda kehidupan dan kebaikan dalam
dirinya.
Wanita itu membuat
janji, bahwa ia tak akan membiarkan negeri itu memiliki banyak keturunan dan
hidup dengan tenang. Jika hari sudah beranjak sore hingga tengah malam, siluman
wanita itu akan menculik bayi-bayi dan anak-anak dari desa untuk menyempurnakan
ilmunya. Santapan saging manusia yang masih sangat muda itu membuatnya semakin
sakti. Dan sampai sekarang ia terus
hidup dan menurunkan kekuatan dan dendamnya pada generasi penerusnya.
Orang-orang menyebut wanita itu ‘Nenek Pakande’.
Begitulah
cerita itu ditutup. Meninggalkan bekas dalam kepala-kepala mereka dan ketakutan
yang mengakar sampai dewasa.
֎֎֎
Rawe
mempercepat langkahnya saat melewati kumpulan pria yang menatapnya aneh dari
tempat mereka. Rawe tahu, keempat putra kembar bangsawan bertubuh kekar itu tak
menyukainya dan juga Bapaknya. Bahkan boleh dikatakan, seluruh penduduk desa
tak ada yang menyukai mereka berdua.
Wanita
berusia akhir dua puluhan itu menduga bahwa penduduk desa merasa iri dengan
keberhasilan Bapaknya sebagai petani kacang tanah dan pedagang sarung tenun di
usianya yang sudah senja. Itu adalah anggapan otak kecilnya selama
bertahun-tahun. Lambat laun, Rawe paham dengan sendirinya. Penduduk desa
mungkin pernah iri pada mereka. Iri pada baju-baju dan sarung-sarung sutra yang
dikenakannya. Tapi bukan itu alasan mereka membencinya dan Bapak.
Para
penduduk desa mencurigai mereka memelihara siluman. Jenis siluman apa yang
mereka maksud, Rawe tak pernah tahu. Rawe tak habis pikir, bagaimana bisa
mereka berpikiran begitu picik dan menduga bahwa Bapaknya yang pendiam dan baik
hati itu bisa memelihara makhluk semcam itu.
Ya,
memang benar kalau rumah mereka yang luas selalu sepi. Memang benar kalau Bapak
memiliki rumah panggung luas di hutan belakang rumah yang mereka tinggali dan
tak ada yang boleh masuk ke sana. Memang benar bahwa di halaman rumah itu, pada
malam-malam tertentu, akan disembelih beberapa ekor kerbau yang dagingnya tak
pernah dibagikan kepada penduduk. Jangankan penduduk. Rawe saja tak pernah
mendapat izin mencicipi daging apapun seumur hidupnya.
Itu
semua tak penting bagi Rawe. Baginya Bapak adalah orang tua terbaik dan
satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Maka ia cukup menutup telinga
dari berita-berita tak benar itu.
Rawe
berjalan lebih hati-hati dan memegang penutup kepalanya dengan was-was. Selama
memikirkan semua hal itu, pandangan keempat pria kembar yang sedari tadi
mengikuti langkah Rawe semakin tajam dan tak pernah melepaskannya.
֎֎֎
Rawe
mendapat kasih sayang yang sangat cukup dari Bapaknya yang pendiam itu.
Meskipun ibunya telah lama meninggal –Rawe lupa apa penyebabnya, tapi yang
pasti semua orang enggan membahasnya–ia tak pernah merasa kekurangan kasih
sayang.
Meskipun
beberapa kali, Rawe sempat mendapat amarah dari Bapaknya kalau dirinya
kedapatan menyantap daging yang dihidangkan di pesta hajatan desa tetangga. Ia
pun jarang mendapatkan izin keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak. Kata
Bapak, Rawe sering sakit-sakitan sejak kecil. Jadi keluar rumah pun ia harus
memakai penutup kepala dan baju yang rapat agar terhindar dari hal-hal yang
ditakutkan Bapak.
Beberapa
orang pun tak bisa menahan dirinya untuk bertanya dengan nada menyindir.
“Rawe,
kau botak, ya?”
“Rawe,
apa kau punya penyakit kudis yang kau sembunyikan di balik baju sutramu yang
halus itu?”
“Rawe,
apakah bermain di luar rumah membuatmu
khawatir kalau kau akan tiba-tiba jatuh miskin?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu tak pernah ia hiraukan. Bagi Rawe, menuruti keinginan Bapak adalah hal
paling penting dalam hidupnya. Ia tak butuh teman yang sering mengolok-olok.
Tak butuh orang-orang miskin yang iri
pada baju-baju dan perhiasannya.
Tapi,
ada kalanya Rawe menjadi sangat marah ketika yang mengusikya adalah empat pria
kembar berbadan besar, bermulut kasar dan tak pernah tampak menyukainya itu.
“Rawe,
apakah Bapakmu membawa uang yang banyak lagi semalam? Hahaha, aku tidak heran.
Karena kemarin malam aku mengintipnya menyembelih sepuluh ekor kerbau di
belakang rumah panggung kalian. Apa itu sesajen untuk siluman peliharaan
Bapakmu?” sindir salah seorang pria kembar yang tak pernah Rawe ketahui namanya
itu.
Saat
itulah pertama kalinya Rawe tahu, mengapa para penduduk desa menjauhi dirinya
dan Bapak. Saat mendengar itu, Rawe tak tahan dengan olokan mereka. Apa yang
keluar dari bibir pria itu membuat bulu kuduknya meremang. Maka ia tak punya
pilihan lain selain membalasnya dengan makian yang bisa dipastikan akan membuat
mereka berang.
“Dasar
raksasa-raksasa tengik. Pantas saja bangsawan seperti kalian hidup miskin
sampai sekarang. Sekali makan saja, kalian bisa menghabiskan satu gentong nasi
dan sayuran!” teriak Rawe kehabisan kesabarannya.
Dan
benar saja, setelah mengatakan itu, keempat-empatnya murka hingga Rawe dengan
terpaksa harus diselamatkan oleh penduduk yang kebetulan berkeliaran di sekitar
mereka sebelum Rawe itu menjadi bulan-bulanan mereka.
֎֎֎
Rawe
tak pernah menyangka bahwa hari itu akan datang. Hari pada saat keresahan
seluruh penduduk sudah meningkat dan akhirnya membuat ia harus kehilangan sesuatu
yang paling berharga. Awalnya, ia menyangka dirinya bisa menyimpan rahasia itu
sendirian. Awalnya ia menyangka bahwa rahasia Bapak akan aman di tangannya.
Namun ternyata ia salah besar.
Malam
itu, karena rasa penasarannya yang makin memuncak, Rawe mengendap-endap menuju rumah panggung yang
terletak di dalam hutan. Ia hanya penasaran setengah mati dengan pembicaraan
para penduduk mengenai keluarganya. Ia hanya ingin membuktikan bahwa semua itu
hanya omong kosong belaka. Karena itu, setelah gagal memaksa dirinya untuk
tertidur, Rawe melakukan kesalahan yang seharusnya tak pernah ia lakukan.
Rumah
panggung yang selalu terkunci itu memancarkan sayup-sayup cahaya yang tidak
begitu terang. Acara penyembelihan telah selesai dan entah kenapa Bapak belum
kembali ke rumah juga. Rawe memantapkan hatinya, bahwa salah satu tujuannya
adalah untuk mencari Bapak. Selain itu , ia hanya penasaran.
Langkah
kaki Rawe tak bersuara sedikit pun. Rambutnya terurai hingga punggung dan
melambai-lambai tertiup angin malam yang menusuk hingga tulang belulang. Ia
hanya memakai baju tipis untuk tidur dan tak sempat lagi menggantinya saat akan
keluar tadi. Satu-satunya yang ada dipikirannya adalah, ia harus segera tahu
apa yang terjadi. Entah dari mana keberanian itu datang. Yang pasti malam itu,
ia tak bisa menahan diri.
Saat
mendekat ke dinding rumah panggung, ia sengaja tak menaiki tangga. Khawatir
lantai kayu akan berderik dan Bapak akan mengetahui keberadaannya. Karena itu
ia hanya mengintip dari celah yang sejajar dengan puncak kepalanya dan lantai
rumah panggung. Kakinya berjinjit menahan berat tubuh.
Pemandangan
pertama yang tertangkap oleh matanya, berhasil membuat Rawe kehilangan tenaga.
Lututnya lemas dan ia serta merta jatuh terduduk di atas tanah yang
lembap. Apa yang terjadi? Mengapa semua
hidangan itu ada di sana? Daging-daging segar dan nasi yang mengepul serta
Bapak yang duduk bersila. Bapak tidak seorang diri. Ia bersama seseorang.
“Jangan
khawatir, aku akan terus menyiapkan ini semua asal kau berjanji, tidak akan mengganggu
warga desa lagi.” Suara Bapak terdengar rendah namun sangat jelas di telinga
Rawe.
Tanpa
menunggu lebih lama lagi, Rawe berlari meninggalkan tempat itu. Dadanya
berdegup kencang dan langkah kakinya terseok-seok. Ia berlari tak tahu arah. Ia
lupa ke mana arah pulang padahal cahaya bulan masih bisa menuntunnya dengan
baik.
Dengan
tangan dan kaki yang masih gemetar, Rawe berlari meninggalkan tempat itu.
Hingga akhirnya ia tak sadar menabrak seseorang. Rawe tak akan khawatir
seandainya yang ditabraknya waktu itu bukan salah satu dari pria kembar itu.
Rawe tak akan khawatir seandainya ia memakai penutup kepala dan baju tebalnya
rapat-rapat malam itu.
Dan
yang paling penting, ia tak akan khawatir seandainya yang ada di rumah panggung
bersama Bapaknya, bukan seorang nenek yang berwajah mirip ibunya.
Karena
dengan bodohnya, seperti kehilangan akal sehat, Rawe menunjuk ke arah rumah
panggung sambil meracau, mengatakan sesuatu yang tak pernah berhasil ia ingat.
֎֎֎
Ada
hukuman untuk orang-orang yang tak bisa menjaga rahasia. Terlebih sebuah
rahasia yang dapat mengubah sesuatu selama-selamanya. Rahasia yang dijaga
dengan baik untuk seseorang yang sangat disayangi. Rahasia yang akan
menghancurkan sesuatu hingga tak ada lagi yang tersisa. Rawe tahu persis, ia pantas
mendapat ganjaran sebesar apapun.
Beberapa
bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Rawe melihat sendiri dari dinding
rumahnya, Bapak dibawa paksa penduduk desa. Alangkah semringahnya wajah empat
pemuda kembar berbadan kekar itu. Sejak saat itu, Rawe tak pernah lagi
mendengar kabar, apalagi bertemu dengan Bapaknya.
Meskipun
kerinduannya membuncah, ia tak punya kesempatan lagi. Dan parahnya, ia sendiri
yang membuat segala kekacauan ini terjadi. Banyak hal yang ingin ia kembalikan
seperti sedia kala. Namun semuanya sia-sia saja. Takdir telah menunjukkan
dirinya. Ternyata kesepian itu begitu mengerikan. Rawe tak pernah
membayangkannya.
Tentang
seorang nenek yang dilihatnya waktu itu, Rawe enggan mengingatnya. Ia tahu
kalau dirinya masih ingat dengan jelas sosok wanita itu. Penduduk berlalu
lalang ke sana kemari dengan membicarakan hal yang sama. Mereka menyebut nama
siluman dan nenek pakande berulang-ulang.
Sebelumnya,
Rawe tak pernah benar-benar paham. Mengapa Bapak begitu sering melarangnya
keluar. Ada apa dengan penampilannya yang berbeda dengan orang-orang seusianya?
Atau mengapa semakin hari ia merasa badannya semakin membungkuk. Tuhuhnya
ringkih tapi semakin bertenaga.
Tak
ada yang perlu menjawabnya. Karena sekarang ia sudah mengetahui jawabannya. Di
hari pertama setelah kejadian itu, saat Bapaknya dan seseorang berwajah mirip
ibunya diarak oleh penduduk kampung, untuk pertama kalinya Rawe menyadari bahwa
rambut yang selama ini ia tutupi semakin memutih, kasar dan kaku. Kulitnya yang
selama ini selalu tersembunyi rapat, semakin berkerut, kering dan mulai retak.
Rawe
tak perlu waktu yang lama untuk memahami, bahwa sekarang ia telah berubah
menjadi orang lain. Bukan, ia sama sekali tidak berubah, ia hanya meneruskan
posisi orang lain. Posisi ibunya yang telah lama menghilang.
Kemudian
sebongkah dendam tiba-tiba menjalar di hatinya, menguasainya dan mengambil alih
seluruh jiwanya.
֎֎֎