REVIEW NOVEL: Sharp Objects - Gillian Flynn
Penulis :Gillian Flynn
Penerjemah : Ariyantri Eddy Tarman
Editor : Reita Ariyanti
Terbit : 13 Juni 2016
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 336 hlm
Pengalaman
mengesankan saat membaca tulisan Gillian Flynn untuk pertama kalinya (Gone Girl) membuatku tidak ragu untuk
mengoleksi Sharp Objects. Jadi saat
membaca blurb di bagian belakang novel ini, aku mengalami sensasi rasa
penasaran yang menyenangkan (Nah, Flynn,
mari kita lihat apa kejutanmu kali ini). Ayo mulai membahas, apakah buku
ini memenuhi ekspektasiku atau tidak.
Camille Preaker,
seorang reporter biasa-biasa saja (tanpa kinerja atau prestasi yang
mengesankan) terpaksa harus berkunjung ke Wind Gap, kota kelahirannya, untuk mengumpulkan berita mengenai kasus
pembunuhan. Untuk alasan yang samar Camille benci kembali ke Wind Gap dan harus bertemu kembali dengan Adora (ibunya
yang dingin), Amma (adiknya yang aneh) serta
Alan (ayah tirinya yang kaku). Ternyata tak hanya pertemuan itu yang menjadi masalahnya. Masalah terbesar
adalah ketika kau pulang ke kampung halaman dan baru menyadari bahwa selain
memiliki pembunuh berantai misterius, tempat itu penuh dengan remaja-remaja
yang “sakit”, wanita-wanita yang hanya bisa bergosip serta polisi yang tidak
becus bekerja. Padahal dahulu Camille adalah bagian dari mereka, salah satu
gadis populer yang menjadi idola sebagian remaja di kota itu.
Ada banyak hal
terkait masa lalunya yang membuat Camille ingin segera menuntaskan tugasnya dan
angkat kaki dari sana. Kasus pembunuhan dua anak perempuan yang seharusnya
menjadi bahan beritanya menemui jalan buntu. Semua penduduk menunjukkan empati,
ikut berduka cita terhadap kematian kedua bocah malang tersebut dan tidak
memberi jalan terang bagi kasus itu. Sampai kemudian, satu persatu dari mereka
mulai membuka suara, dan mengungkapkan tentang kemungkinan-kemungkinan yang
menjadi penyebab terpilih dua bocah korban pembunuhan tersebut.
“Aku tidak percaya semua semua orang menolak menyadari ini.” Meredith melihat ke sekeliling ruangan. “Kau tidak mendengar ini dariku, oke? Anak-anak perempuan itu, Ann dan Natalie, mereka…..” (Hal 209)
Aku tidak akan
membahas lebih jauh karena sedikit tambahan penjelasan lagi akan menyebabkan kurangnya
efek kejutan saat membaca novel ini. Aku mengagumi bagaimana penulis sangat
ahli dalam membuat trik-trik yang menyesatkan pembaca, ia juga melakukan ini di
novel yang kubaca sebelumnya. Pertama-tama kalian akan sibuk menjadi detektif,
atas izin penulis mengumpulkan bukti-bukti dan dengan yakin menarik kesimpulan
sendiri, namun mendekati ending
kalian akan merasa tolol dan menyadari sepertinya itu kesimpulan yang salah.
Itulah yang
kulakukan sepanjang membaca, membuat tebakan-tebakan di kepalaku dan mengabaikannya
kemudian. Karakter Camille si tokoh utama membuatku berhati-hati hingga akhir.
Novel ini menggunakan PoV 1 dan itu hanya berarti satu hal, kau jangan
sekali-sekali memercayai secara total apa yang diyakininya karena bisa jadi ia
dirancang untuk menyesatkan pembaca (aku agak belajar dari pengalaman yang
ternyata tidak terlalu berpengaruh di sini).
Selain diajak
untuk memecahkan teka-teki kasus, hubungan antara Camille dengan orang tua dan
Amma saudara perempuannya meninggalkan kesan tersendiri. Aku ikut merasakan
luapan emosi yang dipendam Camille saat menghadapi mereka semua. Seperti saat
Adora menyesali kematian saudara perempuan Camille yang lain bertahun-tahun
lalu.
“Dan sekarang kau kembali, dan yang bisa kupikirkan hanyalah, ‘Kenapa Marian dan bukan Camille?” (Hal 199)
Atau saat Alan dengan tidak tahu dirinya berusaha mengusir
Camille dari rumah itu.
“… kamu membuat ibumu sakit. Aku harus memintamu pergi kalau kondisinya tidak membaik.” (Hal 218)
Begitu juga
dengan sikap aneh Amma yang sering kali membuatku mengerutkan kening karena tak
paham, apa sebetulnya yang ada dalam kepala gadis itu. Mereka berhasil membuatku bingung dan sedikit “murka”.
Karakter-karakter dalam novel ini kuat, tentu saja. Kecuali Richard yang terasa
samar dan menurutku agak tidak konsisten. Ngomong-ngomong soal Ricahrd, tolong
ingatkan aku untuk menghajarnya saat berpapasan di jalan raya. Astaga, dia
mengesalkan. John Keene jauh lebih patut dipertimbangkan dibanding dirinya.
Aku sepertinya
sudah menyebutkan kalau penghuni Kota Wind Gap ini terdiri dari orang-orang
yang sakit dan tidak normal. Bahkan kalau harus memilih, kupikir cuma Curry dan
Vickery (redaktur dan polisi yang menangani kasus) yang memiliki pikiran jernih
dan bisa dianggap normal. Tapi aku menikmati kegilaan-kegilaan mereka karena
itu malah semakin menarik.
Konfliknya seru,
tak diragukan lagi. Tentunya tidak sekompleks Gone Girl karena dari jumlah
halamannya saja sudah berbeda jauh. Tapi aku cukup puas dengan penyelesaian
yang dipilih penulis. Dan mengenai kemampuan penulis memanipulasi pikiran
pembaca, ini agak subjektif, hanya karena tebakanku meleset bukan berarti aku
menganggap pembaca lain tak bisa menebak dengan tepat arah pikiran penulis. Mereka
yang sudah terbiasa membaca novel-novel seperti ini mungkin akan berpendapat
lain.
Secara umum
novel ini memenuhi ekspektasiku dan aku sudah siap untuk membaca buku
selanjutnya (masih dari penulis yang sama), Dark
Places. Untungnya udah punya semuanya, yeay ^^v.
4 Bintang :)
Reviewnya membantu sekali
Trimakasih ya😁