Review Novel: Burial Rites (Ritus-ritus Pemakaman) - Hannah Kent
Hari-hari
Terakhir Menjelang Eksekusi
Judul : Burial Rites (Ritus-ritus
Pemakaman)
Penulis : Hannah Kent
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2014
Tebal : 416 halaman
Novel ini menggunakan
alur maju mundur yang rapi dan sangat berpengaruh terhadap klimaks yang
perlahan-lahan diciptakan penulis. Kisah
Agnes tidak dimulai dari masa kecilnya melainkan dimulai saat dirinya menjadi
tahanan di tempat kumuh (menyerupai kandang) setelah menerima vonis dari
pengadilan dan akan dipndahkan ke suatu tempat untuk menantikan tanggal
eksekusinya
.
Agnes Magnusdottir
awalnya hanya pelayan wanita biasa yang berpindah-pindah dari satu pertanian ke
pertanian lain di lembah Kornsa sebelum akhinya takdir membawanya ke daerah
utara, daerah pertanian di Illusgastadir. Ia hanya mengenal ibunya hingga
berusia enam tahun kemudian ditinggalkan di rumah sebuah keluarga petani
seorang diri. Kecerdasan Agnes yang tergolong di atas rata-rata gadis pelayan
pada umumnya tidak membawa cukup keberuntungan untuknya, terlebih saat dia
harus terlibat dengan kasus pembunuhan Natan Ketilsson, petani sekaligus
pembuat ramuan obat yang cukup terkenal karena kemampuan mengibati dan juga
kisah cintanya dengan berbagai wanita.
Tak ada seorang pun yang mempertanyakan
tentang keputusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Agnes, tidak juga
keluarga pemilik rumah pertanian yang menampungnya selama menunggu eksekusi di
Kornsa. Mereka semua awalnya sangat
marah, takut dan tidak setuju menampung seorang terpidana mati di rumah pertanian
mereka namun tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan perintah komisaris wilayah.
Awalnya hanya Pendeta yang terpaksa menjadi pendengar untuk membuat dirinya bertobat
sebelum menjelani hukuman. Namun lambat laun mereka menyadari, dari cerita yang
dibuka Agnes sedikit-demi sedikit bahwa cerita yang tersebar di luar sana tidak
persis seperti kenyataannya.
“Mereka tidak membolehkan aku menyampaikan peristiwanya dengan caraku sendiri, mereka mengambil kenangan-kenanganku tentang Illusgastadir, tentang Natan dan memelintirnya menjadi sesuatu yang jahat; mereka merampas kenyataanku tentang malam itu dan membuatku tampak keji.” (Hal 127)
Ending novel ini
sepertinya cukup tertebak mengingat bahwa ceritanya diangkat dari kisah nyata.
Aku sangat menyukai bagaimana penulis menggiring pembaca menyelami kehidupan
Agnes dengan perlahan saat ia bercerita pada pendeta. Seperti keluarga petani
yang menampungnya (yang terpaksa mendengar Agnes bercerita karena terjebak di
dalam rumah akibat musim salju), aku juga begitu penasaran tentang bagaimana
pembunuhan tersebut bisa terjadi.
Hal lain yang kusukai
adalah setting waktu latar tempatnya, sebuah lembah pertanian dengan segala
kesibukan yang dijalani oleh para petani tiap hari.
Membuat jerami, memerah susu sapi, membuat mentega, penyembelihan domba-domba dan pembuatan sosis darah untuk bekal menghadapi musim dingin. Setting waktunya tahun 1828, penulis bisa menggambarkan kehidupan petani jaman dahulu dengan baik. Bagaimana mereka memasak dengan tungku berbahan bakartahi sapi kering, jendela yang terbuat dari kandung
kemih domba sebagai pengganti kaca. Hal yang unik menurutku adalah semua anggota keluarga dan para
pelayan tidur dalam satu tempat bernama badstofa dan hanya dipisahkan oleh
ranjang-ranjang mereka. Atap rumah mereka menggunakan campuran rumput dan lumpur. Sepertinya penampakannya kurang lebih seperti ini:
Sumber: id.aliexpress.com
Membuat jerami, memerah susu sapi, membuat mentega, penyembelihan domba-domba dan pembuatan sosis darah untuk bekal menghadapi musim dingin. Setting waktunya tahun 1828, penulis bisa menggambarkan kehidupan petani jaman dahulu dengan baik. Bagaimana mereka memasak dengan tungku berbahan bakar
Sumber: pixabay.com
Sejak awal pembaca
sudah dibuat penasaran dengan sosok Natan Ketilsson yang menjadi korban
pembunuhan oleh Agnes. Si playboy yang awalnya terkesan cerdas dan seakan-akan
menawarkan kehidupan yang jauh lebih baik dan membuat Agnes meninggalkan lembah
pertanian tempatnya menjadi pelayan, dan pindah ke daerah pantai di utara. Menurutku orang ini mengidap gangguan
psikologis yakni penyakit bipolar, ditilik dari bagaimana caranya memperlakukan
orang lain.
Sepuluh halaman
terakhir benar-benar membuatku merasa sesak dan menutup buku beberapa menit
untuk melanjutkan kembali. Meskipun keluarga petani yang menampungnya mulai
membuka diri, bahkan anak perempuan mereka yang sangat keras kepala bersedia
memberikan benda kesayangannya untuk menemani Agnes dalam perjalanan
terakhirnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya digiring menuju
tempat eksekusi untuk dipenggal. Ditambah
dengan narasi penulis yang apik mendukung suasana sedih dan muram yang
terbangun dalam cerita.
“Kami akan mengingatmu, Agnes.” Margret meremas tanganku lebih erat sampai aku nyaris memekik oleh rasa sakit. Dan tahu-tahu aku menangis. Aku tidak ingin diingat. Aku ingin berada di sini! (Hal 394)
Sedikit kekurangannya
yaitu, beberapa bagian cerita terkesan telling, bukannya showing. Sebab pada
bagian itu Agnes yang menceritakan kehidupannya kepada Pendeta Toti. Namun, aku
tidak terlalu mempermasalahkannya sebab teknik yang digunakan penulis ini
diimbangi dengan berbagai kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya.
Aku merekomendasikan
buku ini untuk penggemar cerita-cerita yang agak suram, yang memiliki detail
sangat baik dalam menggambarkan daerah-daerah pertanian jaman dulu di Islandia
Utara.
wah, beberapa kali liat di obralan tapi kupikir novel fantasi jadi gak diambil... Moga masih bisa ketemu lagi :) Makasih reviewnya