Judul Buku : A Cup of Tarapuccino (Secangkir
Cinta, Rindu dan Harapan)
Penulis
: Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Penerbit
: Indiva Media Kreasi
Tebal Buku : 304 halaman
Ukuran Buku : 19 cm
ISBN : 978-602-8277-88-4
Harga Buku : Rp39.000,-
Tara dan Raffi adalah
pemilik sebuah Bakery di Batam. Hubungan mereka yang tadinya
sepasang sepupu, kemudian berkembang menjadi calon pasangan yang berencana
untuk segera meresmikan hubungan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun
dalam hati, Tara senantiasa diliputi keraguan oleh kenangannya terhadap
seseorang yang pernah berada di antara mereka, pernah menjadi bagian dari Bread
Time Bakery dan pernah mendapat
tempat di hatnya. Orang itu adalah Hazel.
Kisah ini kemudian
berlanjut dengan flashback ke cerita
awal saat Tara seringkali melihat Hazel di Bakery
setiap pagi, memesan minuman yang sama dan mengerjakan hal yang sama pula. Sampai
suatu saat ketika keadaan mengharuskan mereka terlibat dalam urusan pekerjaan,
saat Hazel akhirnya diterima bekerja di Bakery
itu. Raffi terlihat mulai berubah dan tidak terlalu menyenangi Hazel.
Di sisi lain, juga
diceritakan tentang Diaz yang sejak awal terlihat memegang peranan penting
dalam cerita ini. Lelaki ini memiliki masa lalu yang kelam dan membuatnya harus
terlibat sindikat perdagangan illegal. Seiring dengan cerita Diaz tersebut
bergulir, masalah demi masalah mulai menimpa Bread Time sejak Hazel bergabung. Raffi
mulai mengendus ada yang tidak beres dengan hal ini dan malah melayangkan
kecurigaannya pada Hazel. Tara tidak serta merta menerima tuduhan tersebut
dengan alasan bahwa tuduhan tersebut tak beralasan dan tetap mencoba untuk
menjaga agar perasaannya untuk Hazel tak tampak oleh Raffi yang ternyata
diam-diam mencintainya.
Bagaimana kelanjutan
kisah Tara, Hazel, Raffi dan Diaz selanjutnya? Apakah Bread Time akan tetap
bertahan dengan rentetan masalah yang menimpanya? Dan apa sebetulnya hubungan
antara Hazel dan Diaz serta kaitannya dengan sindikat illegal trading?
***
Novel ini adalah novel pertama Mbak Riawani dan Mbak
Rika yang saya baca.Latar belakang Mbak Rika sabagai seorang pengusaha
bidang kuliner dan Mbak Riawani yang memang berdomisili di Kepulauan Riau
membuat novel ini semakin kaya dengan setting tempat terasa nyata digambarkan
oleh penulisnya. Penulisan mereka pun
menyata dan kita tidak dapat menguraikan bagian-bagian tertentu yang merupakan
bagian masing-masing penulis.
Saat membaca bab-bab pertama, terkait karakter dan
interaksi tokoh-tokohnya, serta konsep Bakery
yang mereka usung, saya bisa langsung menebak ke arah mana novel ini akan dibawa. Bukan sekadar fiksi islami yang mendompleng gambar
wanita berjilbab namun tidak mencerminkan pola pergaulan islami di dalamnya.
Novel ini menuntaskan kerinduan saya pada novel
bergenre romance inspiratif di tengah
menjamurnya novel-novel romance
dengan tema sejenis dengan konflik yang itu-itu saja. Penulis berhasil
menyuguhkannya dengan cara berbeda dan saya yakin penulis ini memang punya ciri
khasnya sendiri.
Cerita tak hanya berkutat pada intrik dan konflik percintaan
mononton yang akhirnya tak membekaskan sesuatu yang bermakna di dalam benak pembaca. Beberapa yang jarang disuguhkan dalam novel-novel roman
lain seperti perdagangan ilegal, kreativitas dalam membangun suatu usaha,
hingga detail rutinitas dan konflik yang biasanya terjadi dalam sebuah kedai
roti (bakery) tergambar jelas di
sini. Penulis banyak meninggalkan pesan-pesan moral dan banyak hal yang
berkaitan dengan akidah tanpa terkesan menggurui atau mendakwahi pembacanya.
Alurnya berjalan lambat di awal namun menjadi lebih
cepat di akhir sehingga pembaca tidak jenuh dengan perpindahan konflik yang
lambat. Bahasanya indah namun tak terlalu mendayu-dayu bahkan mudah dipahami
oleh siapapun yang membacanya.Konfliknya menarik dan menyuguhkan banyak hal
baru serta pesan moral di mana kedua hal ini biasanya sulit diterapkan pada
novel yang fokus pada konflik percintaan semata.
Setting tempatnya digambarkan berada di Kota Batam,
lokasi Bread Time serta penggambaran desain interiornya cukup mendetail. Bahkan
saya bisa membayangkan berada di dalamnya. Menghirup aroma roti yang masih hangat serta
menyeruput secangkir Cinnamon Cappucino dan
merasakan sensasi pedas dari serbuk kayu manis yang merupakan minuman kesukaaan
Hazel itu.
Karakter Tara cukup memcerminkan ciri khas muslimah
kebanyakan jika dilihat dari kepedulian dan prinsip yang dianutnya. Tapi selain
itu, penulis memberikan poin tambahan berupa sikap keras kepala, kreatif,
cerdas dan mandiri sehingga tokoh ini memiliki karakter yang kuat dan tidak
monoton. Hazel sendiri digambarkan
sebagai lelaki bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarganya. Di masa
lalu, kekecewaan pada teman-teman rohisnya akhirnya membuat ia memilih untuk
meninggalkan lingkaran ukhuwah yang pernah membuatnya nyaman berada di
dalamnya. Tapi tetaplah Hazel yang hanif meskipun di sisi lain, keadaan
mengharuskannya terlibat suatu hal yang memungkinkan ia dapat menghancurkan
seseorang dan dirinya sendiri, Sedangkan Raffi adalah sosok lelaki cerdas yang
memiliki idealismenya sendiri, sedikit protektif dan posesif pada Tara dan
kadang kala tidak dapat mengendalikan emosinya.
Masing-masing karakter sentral memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Dari segi fisik, Tara jelas digambarkan
berkulit cerah, charming, modis tapi
tetap syar’i. Raffi sendiri digambarkan berkulit putih dengan penampilan ala
eksekutif muda serta berwajah tampan. Hazel memiliki kulit pucat, jangkung,
bermata sipit. Semuanya digambarkan dengan lengkap sehingga kita bisa
membayangkan wujud masing-masing tokoh tersebut.
Hal yang kemudian sedikit rancu dari gambaran fisik
ini yaitu pada saat penulis mengatakan berkali-kali bahwa Hazel memiliki
sepasang mata cokelat yang diturunkan dari Ibunya. Padahal pada awal bab, saat
Raffi menggambarkan Hazel, dikatakan bahwa lelaki itu memiliki sepasang mata
dengan bola mata hitam yang dominan. Ketidakkonsistenan ini tidak mengganggu
namun dapat menjadi clue yang
menyesatkan saat pembaca ingin mengira-ngira hubungan antara Diaz dan Hazel.
Salah satu kelebihan lain dari buku ini adalah konfliknya yang berat namun
dituntaskan dengan baik setelah rentetan permasalahan yang menimpa tokoh
utamanya satu demi satu. Fokus cerita ini berpindah dari Tara, Hazel dan Diaz.
Ketiganya memiliki porsi yang hampir sama dalam novel ini. Namun bagi sebagian
pembaca yang cukup jeli, mereka dapat menebak hubungan antar Hazel dan Diaz dengan
mudah hingga mengurangi rasa penasaran terhadap hubungan keduanya Padahal salah
satu poin yang bisa membuat novel ini kian menarik yaitu saat pembaca terkecoh
dan menebak-nebak hingga saat penulis benar-benar ingin mengungkapkan semuanya
pada pembaca. Sayangnya clue yang
dibuat penulis mulai tertebak saat acara interview yang diadakan Bread Time pada Hazel saat itu.
Pada bab-bab menjelang ending, penulis berhasil
menyampaikan emosi tokoh-tokohnya dengan baik dan dengan porsi yang pas. Penempatan
Flashback setelah epilog merupakan
hal yang baru. Merupakan pilihan yang cukup bagus sebab penempatannya pada
pertengahan cerita justru akan terasa bertele-tele saat pembaca sudah sangat ingin
bertemu dengan epilog. Meskipun demikian, ada hal-hal yang tidak terjawab terkait
kasus Hazel dengan kepolisian serta keadaan keluarganya pasca kecelakaan naas itu.
Apakah penemuan bukti berupa ponsel itu merupakan jawaban yang menyiratkan
bahwa Hazel terbebas dari segal tuduhan atau mungkin Hazel telah ditahan
sebelum akhirnya mendirikan usahanya sendiri. Hal ini belum menemukan
jawabannya.
Ending cerita yang menggantung bisa menjadi poin
positif atau negatif. Positif, saat pembaca memilih untuk membiarkan kisah
mereka tetap seperti itu dan menunggu waktu menuntaskan urusan perasaan kedua
tokoh. Namun menjadi negatif saat pembaca malah merasa penantiannya akan
pilihan Tara sejak prolog itu ternyata tak mendapatkan jawaban. Namun sesungguhnya,
beberapa kalimat menjelang akhir, serta puisi penulis yang sangat indah telah
memberikan jawaban atas kisruh
berkepanjangan di hati Tara secara implisit. Seandainya kita pandai
menelaah kata demi kata dan menerjemahkannya dengan baik.