Artikel: Memantik Geliat Literasi Keluarga di Tengah Selubung Asap Karhutla Kalimantan Tengah
Semangat perayaan Hari Aksara Internasional (HAI) yang digagas oleh
UNESCO sejak tahun 1966 masih berdenyut dalam langkah-langkah para pegiat
literasi di seluruh tanah air. Negera kita pun memiliki destinasinya sendiri
dalam peringatan hari besar ini meskipun tetap berpegang pada tema besar HAI
dalam skala internasional, yaitu Literacy and Multilingualism.. “Ragam
Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat” merupakan tema nasional yang diusung Kemendikbud dan tercermin dalam berbagai agenda literasi yang puncaknya diselenggarakan di Makassar,
5-8 September 2019.
Kedua tema yang diangkat UNESCO dan Kemendikbud mengedepankan
literasi sebagai kata kunci. Literasi memiliki pengertian yang jauh lebih
kompleks dari sekadar melek aksara.atau terbebas dari buta huruf. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia V, literasi berkaitan dengan kemampuan mengolah
informasi serta pengetahuan demi memperoleh kecakapan hidup.
Apabila HAI telah mengangkat literasi sebagai titik fokus agenda
mereka, maka itu berarti PR terbesar negara ini tidak lagi berkutat pada angka
buta huruf. Pada tahun tahun 2017 tingkat buta huruf penduduk Indonesia menurut
Badan Pusat Statistik untuk usia 15-59 tahun telah menunjukkan angka yang cukup
melegakan, yaitu 2,07%. Warga Provinsi Kalimantan tengah patut berbangga sebab telah
terbebas dari daftar terbawah provinsi yang memiliki angka buta huruf di atas
angka rata-rata secara nasional. Namun seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, makna literasi tidak berhenti sampai di situ.
Kemampuan membaca
saja tidak cukup untuk dapat membangun karakter seseorang, membangun
kreativitas serta membuat masyarakat lebih cerdas berinteraksi dengan
lingkungan. Kemampuan membaca yang stagnan hanya akan menggiring seseorang
untuk menjadi “tahu” tanpa adanya kepekaan serta motivasi untuk mengubah
keadaan. Di sinilah kemampuan literasi seseorang dapat menjadi penentu
keberhasilan sebuah cita-cita yang ideal
Seperti yang kita ketahui bahwa beberapa bulan terakhir warga Kota
Palangka Raya dan sekitarnya telah berjuang hidup di tengah-tengah kabut asap
yang kian menebal. Mereka telah merasakan berbagai imbas dari kebakaran hutan
dan lahan. Secara kasat mata orang awam akan melihat hal tersebut sebagai
bencana, kecelakaan atau ulah sejumlah oknum tidak bertanggung jawab. Namun
lebih dari itu, ada degradasi moral yang nampak di sana.
Moral tidak terbangun begitu saja namun tumbuh dari kontinuitas proses
yang panjang selama bertahun-tahun. Selama proses tersebut, keluarga,
lingkungan dan pendidikan formal memiliki tanggung jawab yang jauh lebih berat
dalam pembentukan karakter masyarakat. Di antara beberapa faktor penentu
tersebut, keluarga menjadi tempat pertama, sekaligus basis utama terbentuknya
karakter anak.
Pendidikan karakter yang menjadi fokus kurikulum di sekolah
memiliki cita-cita luhur yang juga diagungkan semua kalangan orang tua. Akan tetapi, jika keluarga sebagai tempat
anak menerapkan pengetahuannya secara konseptual tidak memberikan wadah,
sarana, prasarana dan dukungan yang sepatutnya, maka pendidikan karakter hanya
akan menjadi teori ideal belaka dan sekadar terselip di lembaran buku
pelajaran.
Di sinilah literasi keluarga dapat diandalkan untuk memainkan
perannya secara maksimal. Anak merupakan peniru yang ulung, Pada tahap awal
anak memerlukan model untuk dapat ditiru baik dari segi sifat, karakter maupun
kebiasaan. Tokoh-tokoh inspiratif dengan karakter bersahabat dengan lingkungan,
menjaga alam serta kebersihan, mengasihi sesama makhluk hidup dan peka terhadap
perubahan alam dapat dimunculkan pada buku-buku anak. Mereka dapat mengetahui
akibat dari pembakaran hutan serta akibat dari tercemarnya udara dan imbas dari
keegoisan manusia yang membuka lahan dengan tidak bertanggung jawab dari
berbagai bahan bacaan.
Di Palangkaraya banyak anak berkeliaran di antara asap yang pekat
dengan menghirup udara tercemar tanpa rasa bersalah. Tanpa kesadaran bahwa
paru-paru mereka tengah berusaha keras bekerja secara maksimal dengan segala
upaya agar tidak kehilangan sejumlah fungsinya. Faisal dan Susanto (2017) dari
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI
mengemukakan fakta bahwa asap kebakaran hutan merupakan jenis polutan primer
yang mengandung sejumlah unsur seperti PM, karbon monoksida, uap merkuri, VOC,
bahan kimia pembentuk ozon dan sebagainya. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI saat terjadi kebakaran hutan tahun 2015, usaha perlindungan diri
dari pencemaran udara pada level udara tidak sehat dapat diusahakan dengan
memakai masker. Proporsi terbesar penyakit yang dapat ditimbulkan oleh asap karhutla
yaitu ISPA, disusul penyakit kulit, penyakit mata, asma dan pneumonia.
Sebagian orang tua mungkin abai dengan masalah ini sebab bencana
asap yang melanda Kalteng bukan lagi hal yang baru. Padahal anak-anak perlu
mendapat pendidikan sejak dini tentang penyebab serta dampak terhirupnya zat
polutan dalam saluran pernapasan. Kita dapat berkaca dari pemerintah Sulawesi
Tengah yang begitu tanggap menggarap kurikulum berbasis mitigasi bencana pasca
bencana alam tsunami serta banjir. Jika kurikulum berbasis mitigasi terhadap polusi udara akibat
karhutla belum digodok secara matang oleh pemerintah, maka tugas keluaga
mengambil alih peran tersebut.
Peran keluarga dapat berupa penyediaan dan pemanfaatan bahan-bahan
bacaan terkait bencana alam secara umum dan bencana kebakaran secara khusus
untuk membekali anak pengetahuan tentang cara menyikapi permasalahan bencana
asap ini. Keluarga dapat menjadi tenpat bertanya anak terkait berbagai penyakit
saluran pernapasan yang dapat timbul ketika mereka bepergian keluar rumah dan
menghirup asap secara bebas.
Akhir Agustus lalu, Dinas Perpustakaan dan Arsip dalam acara
Pembudayaan Kegemaran Membaca dan Menulis bagi Siswa, memperkenalkan
perpustakaan online yang bisa diakses kapan dan di mana saja bernama IKalteng.
IKaleng dapat menjadi sumber informasi anak dan sebagai bahan atau referensi
yang dapat dimanfaatkan oleh orang tua dalam menyukseskan literasi keluarga,
guna pengembangan karakter serta wawasan anak agar lebih tanggap terhadap
bencana yang dihadapi daerah mereka. Dengan demikian Hari Aksara Internasional
tidak hanya berakhir dengan perayaan dan sejumlah penghargaan semata, melainkan
menghasilkan aksi nyata masyarakat, dalam hal ini orang tua untuk mengembangkan
kepekaan dan kecakapan literasi anak-anak mereka.