Artikel: Gerakan Literasi Nasional Menuju Kecakapan Literasi Baca-Tulis Abad 21`
Harian Rakyat Sultra (Senin, 1 Juli 2019) |
Enam literasi
dasar yang menjadi tumpuan GLN tentunya memiliki karakter dan tingkat
kepentingan masing-masing. Menurut Direktur Umum UNESCO (2006), untuk membangun
kehidupan yang jauh lebih baik, hal pertama yang harus diperhatikan adalah
literasi baca-tulis. Literasi baca-tulis menjadi basis dari semua elemen
literasi dasar agar dapat berkembang dan menunjukkan hasil yang cemerlang.
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (2017) mengutarakan syarat implementasi literasi baca-tulis seharusnya
memenuhi lima prinsip dasar, yaitu holistik, terintegrasi, sustainabilitas,
kontekstual dan responsif kearifan lokal. Jika ingin menilik sejauh mana
tingkat keberhasilan literasi baca-tulis
telah diterapkan, maka penilaian tidak boleh dilakukan secara parsial. Keberhasilan
implementasi literasi dasar ini bukan hanya mengandalkan tingkat buta aksara
sebagai barometer. Namun jauh lebih kompleks karena mencakup seluruh ranah
pendidikan mulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat.
Dari lima prinsip dasar implementasi literasi baca-tulis yang telah
dipaparkan sebelumnya, terdapat dua prinsip yang penggunaannya masih belum
mendapat ruang yang lapang.
Keduanya yaitu prinsip kontekstual dan
responsif kearifan lokal. Jika ingin ditinjau lebih jauh di zaman milenial ini,
ada berapa banyak bahan bacaan kita yang adaptif dan responsif terhadap
nilai-nilai kearifan lokal. Sejauh mana penulis-penulis buku bacaan
mengeksplorasi tulisannya dengan tetap mempertimbangkan konteks budaya dan ciri
sosial masyarakat Indonesia.
Sebagian kaum tertentu akan menanggapi permasalahan ini dengan
sejumlah argumentasi yang mudah diterima. Bahwa penulis dan pembaca memiliki
kebebasan berekspresi masing-masing. Bahwa bahan bacaan dalam bentuk apapun
sebaiknya tetap dapat diterima secara global tanpa memiliki kecendrungan ke satu
titik. Namun sayangnya anggapan ini kadang menjadi bias. Sebab mereka lupa
bahwa hal-hal yang global pun sebetulnya merupakan bagian dari salah satu titik
yang mereka hindari.
Bahan bacaan literasi baca-tulis yang memenuhi prinsip kontekstual
dan responsif kearifan lokal bukanlah kecendrungan yang memihak, melainkan
suatu cara elegan untuk menemukan kembali jati diri. Kecakapan literasi yang
berangkat dari hal-hal yang bersifat kontekstual dan mempertimbangkan
nilai-nilai lokalitas biasanya akan bertahan lama dan lebih bermakna. Sayangnya
nilai-nilai inilah yang masih jarang mendapat tempat di antara bahan bacaan
para pembaca milenial.
Berangkat dari prinsip-prinsip dasar implementasi literasi
baca-tulis tersebut, maka ancaman dan tantangan yang harus dihadapi generasi di
abad ini dapat dirumuskan secara rinci. Masalah literasi baca-tulis yang
dihadapi oleh masyarakat berbeda-beda untuk tiap kelompok usia. Kita semua
sepakat bahwa kecakapan literasi sebaiknya dipupuk sejak awal untuk menjamin
sustainabilitas kecakapan mereka di masa yang akan datang.
Balitbang Kemendikbud bekerja sama dengan program kemitraan inovasi
untuk anak sekolah Indonesia menemukan bahwa masalah utama yang berhubungan
dengan keterampilan membaca anak, bersumber dari tidak tersedianya bacaan yang
menarik. Oleh karena itu pemerintah berupaya menyediakan berbagai bahan bacaan
yang diperuntukkan untuk anak-anak yang berada pada kelas rendah. Salah satu
upaya yang ditempuh pemerintah adalah melalui kompetisi menulis GLN yang
diikuti oleh ribuan penulis dari seluruh penjuru tanah air dengan melalui
berbagai tahapan seleksi yang ketat. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak
mendapatkan bahan-bahan bacaan yang menarik namun tetap mempertahankan kualitas.
Masalah kecakapan literasi tidak berhenti sampai di sana, terlebih
untuk kalangan pembaca pada rentang usia remaja ke atas. Harus ada yang mulai
menyuarakan bahwa tantangan besar yang dihadapi generasi di abad 21 bukan hanya
masalah kurangnya minat baca atau minimnya kuantitas serta kualitas bahan
bacaan sebagai bahan baku literasi baca-tulis. Lebih dari itu, tantangan yang
sebenarnya mereka hadapi adalah keberlimpahan informasi dan semakin variatifnya
pilihan bacaan yang menantang kemampuan mereka menganalisis, mengolah,
menyaring dan menyebarkan informasi yang valid agar tidak terjerumus ke dalam kubangan
informasi yang sesat. Masalah ini berhubungan erat dengan keterampilan membaca
dan kebijakan penggunaan literasi digital yang banyak digandrungi manusia abad
ini.
Hal di atas
agaknya kurang seirama dengan sejumlah berita yang dilansir oleh berbagai media
massa mengenai minat baca masyarakat Indonesia yang berada di peringkat 60 dari
61 negara dan hanya mengalahkan Bostwana. Sepertinya masyarakat mulai menyadari
bahwa sebetulnya masalah terbesar mereka bukan hanya mengenai minat baca.
Generasi abad 21 memiliki minat baca yang jauh lebih besar dari apa yang
direkam oleh sejarah. Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah kesulitan
untuk menentukan hal apa yang seharusnya mereka cerna, berita apa yang seharusnya
mereka percayai dan pengetahuan mana yang seharusnya mereka serap dan dapat
disebarluaskan.
Kecakapan literasi betul-betul berperan penting dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut. Keterampilan membaca generasi abad ini harus semakin
sering diasah agar tidak hanya berhenti pada satu titik yang belum rampung. Generasi
abad ke-21 bukan hanya dituntut untuk berminat membaca, tapi mereka juga harus
terampil membaca. Minat baca mungkin dapat diperoleh dengan mudah, tapi
keterampilan membaca harus terus diasah agar tidak tumpul dan akhirnya salah
arah.