(Review Novel) Ketika Tak Memilih adalah Satu-satunya Pilihan



Judul Buku : Kania
Penulis : Hapsari Hanggarini
Penyunting: Sasa
Penerbit : Moka Media
Tebal : 304 Halaman
Tahun Terbit: 2014


Novel ini dibuka dengan sebuah adegan yang menunjukkan kekesalan Kania akibat perintah Agus yang menurutnya semena-mena. Pada kenyataannya, Kania diam-diam menyimpan perasaan kepada rekan kerjanya itu, namun sekarang ia malah memiliki firasat bahwa Agus memiliki rencana terselubung untuk menjodohkan dirinya dengan salah seorang klien mereka di Yogyakarta yang bernama Danang.

Danang adalah seorang pria dingin-menyebalkan dengan masa lalu yang lumayan menyedihkan. Kegagalan hubungan percintaannya dengan seorang gadis yang telah mengkhinanati kepercayaannya, membuat Danang enggan membuka hatinya untuk orang lain. Selama ini ia selalu menutup diri sampai kemudian kemunculan Kania membuatnya berpikir ulang untuk mulai membuka hatinya untuk seseorang. Ketertarikan itu bermula dari kebiasaan-kebiasaan kecil Kania yang ternyata lumayan mirip dengan mantan kekasihnya.

Inti permasalahan yang kemudian muncul di tengah-tengah cerita adalah saat ibunda Kania (Amih) menunjukkan tanda-tanda penolakan saat Kania menceritakan tentang Danang. Kania teringat bahwa raut wajah seperti itu  pernah ditunjukkan Amih saat Teh Anis, kakak perempuan Kania menikah dengan seorang Jawa.  Di sinilah pergolakan batin Kania terjadi dan membuatnya harus memilih antara menjaga perasaan Amih, mengikuti kata hatinya, atau kembali pada cinta lama yang diam-diam masih sering muncul dan mengganggu pendiriannya.

Sinopsisnya sampai di sini saja sebelum aku tergelitik untuk menulis lebih banyak lagi hingga membocorkan beberapa rahasia yang disembunyikan dalam novel ini. Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbak Hapsari atas kiriman buku berkover cantik ini. Senang sekali akhirnya bisa membaca tulisan Mbak J

Sebetulnya dengan membaca blurb di kover belakang buku, pembaca sudah bisa mendapat beberapa gambaran tentang isi cerita yang ditawarkan novel ini. Malah menurutku blurb-nya agak-agak spoiler karena pembaca akan tahu kapan rahasia tersebut bakal terungkap, meskipun itu sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah.

Aku tertarik dengan premis yang ditawarkan novel ini. Tadinya kupikir penulis akan banyak mengeksplor benturan budaya antara Jawa dan Sunda yang kelak akan menjadi fokus novel ini tapi ternyata aku salah. Gaya menulis Mbak Hapsari lumayan enak diikuti disertai dengan guyonan-guyonan ringan –kadang-kadang dengan bahasa sunda- yang beberapa kali bikin cengar-cengir sendiri. Aku menyukai bagaimana penulis menggambarkan sosok Amih dan hubungan antara wanita tersebut dengan Kania. Suasana kekeluargaan yang begitu kental dan kehangatan rumah yang membuatku ingin segera pulang kampung.

Sosok Agus yang kepo dan sotoy juga menarik perhatianku, Bagaimana dia menjaga komitmen dan juga sekaligus menyayangi Kania membuatku simpati. Selain itu aku bisa merasakan pergolakan batin yang dirasakan Kania, apalagi mengingat apa yang telah dirasakan Amih saat pernikahan Teh Anis. Pesan moral yang ingin disiratkan penulis cukup mengena dan membuatku berpikir ulang tentang beberapa hal mengenai pernikahan, komitmen dan juga hubungan kekeluargaan. Terima kasih sudah mengingatkan.

Namun selain itu, aku menemukan beberapa kejanggalan yang membuatku menurunkan rating novel ini. Pertama, karakter Danang dan Kania yang menurutku berubah-ubah dengan cepat dan tidak konsisten. Entah kapan tepatnya mereka saling tertarik, tidak ada alasan yang cukup kuat mengingat hubungan mereka tidak terlalu baik di awal-awal cerita. Lalu permasalahan yang muncul tiba-tiba dalam hubungan Agus-Rita rasanya terlalu tiba-tiba, tanpa ada sesuatu yang mengindikasikan hal tersebut. Dan rasanya ada kontradiksi antara awal dan menjelang ending mendengar pengakuan Agus, sebab dia pernah mengatakan bahwa perasaannya pada Kania muncul seiring dengan waktu saat mereka mulai sering bertemu karena menjalankan bisnis bersama.

Terakhir, entah kenapa aku gagal paham dengan endingnya. Setelah apa yang terjadi, setelah adanya tulisan-tulisan di dalam diary, dan setelah Kania akhirnya menyadari perasaannya, bagaimana mungkin dia kembali mempertimbangkan nama seseorang hanya karena Amih mulai kembali menanyakannya. Dan seperti apa yang dikatakan Danang, dia seperti tidak melakukan perjuangan apapun. Agus pun begitu, bagaimana bisa dia menawarkan bantuan untuk menjadi mak comblang setelah adanya pengakuan itu. Agak aneh dan tidak konsisten menurutku, padahal menuju ending aku sudah tersenyum memikirkan kemungkinan ending yang akan dipilih penulis. Ah, sepertinya ada unsur ‘selera pembaca’ yang bermain di sini.

Meskipun ada beberapa kekurangan, tetapa aku menikmati membaca novel ini. Terlebih hubungan ibu dan anak yang digambarkan penulis dengan cukup baik. Aku akan menantikan tulisan-tulisan Mbak Hapsari selanjutnya, semoga di novel selanjutnya aku akan lebih menyukai endingnya.
0 Responses