Review Novel: Burial Rites (Ritus-ritus Pemakaman) - Hannah Kent


Hari-hari Terakhir Menjelang Eksekusi


Judul              : Burial Rites (Ritus-ritus Pemakaman)

Penulis           : Hannah Kent

Penerjemah    : Tanti Lesmana

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit   : 2014

Tebal             : 416 halaman





Tertarik membeli Burial Rites karena premisnya yang menarik dan ceritanya yang cenderung suram.  Hannah Kent menulis novel ini berdasarkan kisah nyata Agnes Magnusdottir, salah  satu dari tiga orang terpidana mati yang dijatuhi hukuman penggal di Semenanjung Vantsnes, Islandia Utara tahun 1828. Penulis mengumpulkan berbagai data dari berbagai surat, catatan-catatan gereja, arsip-arsip paroki, artikel serta hasil wawancara dengan masyarakat setempat untuk dapat menuliskan cerita ini.



Novel ini menggunakan alur maju mundur yang rapi dan sangat berpengaruh terhadap klimaks yang perlahan-lahan diciptakan penulis.  Kisah Agnes tidak dimulai dari masa kecilnya melainkan dimulai saat dirinya menjadi tahanan di tempat kumuh (menyerupai kandang) setelah menerima vonis dari pengadilan dan akan dipndahkan ke suatu tempat untuk menantikan tanggal eksekusinya
.

Agnes Magnusdottir awalnya hanya pelayan wanita biasa yang berpindah-pindah dari satu pertanian ke pertanian lain di lembah Kornsa sebelum akhinya takdir membawanya ke daerah utara, daerah pertanian di Illusgastadir. Ia hanya mengenal ibunya hingga berusia enam tahun kemudian ditinggalkan di rumah sebuah keluarga petani seorang diri. Kecerdasan Agnes yang tergolong di atas rata-rata gadis pelayan pada umumnya tidak membawa cukup keberuntungan untuknya, terlebih saat dia harus terlibat dengan kasus pembunuhan Natan Ketilsson, petani sekaligus pembuat ramuan obat yang cukup terkenal karena kemampuan mengibati dan juga kisah cintanya dengan berbagai wanita.


 Tak ada seorang pun yang mempertanyakan tentang keputusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Agnes, tidak juga keluarga pemilik rumah pertanian yang menampungnya selama menunggu eksekusi di Kornsa.  Mereka semua awalnya sangat marah, takut dan tidak setuju menampung seorang terpidana mati di rumah pertanian mereka namun tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan perintah komisaris wilayah. Awalnya hanya Pendeta yang terpaksa menjadi pendengar untuk membuat dirinya bertobat sebelum menjelani hukuman. Namun lambat laun mereka menyadari, dari cerita yang dibuka Agnes sedikit-demi sedikit bahwa cerita yang tersebar di luar sana tidak persis seperti kenyataannya.


Mereka tidak membolehkan aku menyampaikan peristiwanya dengan caraku sendiri, mereka mengambil kenangan-kenanganku tentang Illusgastadir, tentang Natan dan memelintirnya menjadi sesuatu yang jahat; mereka merampas kenyataanku  tentang malam itu dan membuatku tampak keji.” (Hal 127)

Ending novel ini sepertinya cukup tertebak mengingat bahwa ceritanya diangkat dari kisah nyata. Aku sangat menyukai bagaimana penulis menggiring pembaca menyelami kehidupan Agnes dengan perlahan saat ia bercerita pada pendeta. Seperti keluarga petani yang menampungnya (yang terpaksa mendengar Agnes bercerita karena terjebak di dalam rumah akibat musim salju), aku juga begitu penasaran tentang bagaimana pembunuhan tersebut bisa terjadi.


Hal lain yang kusukai adalah setting waktu latar tempatnya, sebuah lembah pertanian dengan segala kesibukan yang dijalani oleh para petani tiap hari. 
s
 Sumber: id.aliexpress.com

Membuat jerami, memerah susu sapi, membuat mentega, penyembelihan domba-domba dan pembuatan sosis darah untuk bekal menghadapi musim dingin. Setting waktunya tahun 1828, penulis bisa menggambarkan kehidupan petani jaman dahulu dengan baik. Bagaimana mereka memasak dengan tungku berbahan bakar tahi sapi kering, jendela yang terbuat dari kandung kemih domba sebagai pengganti kaca. Hal yang unik menurutku adalah semua anggota keluarga dan para pelayan tidur dalam satu tempat bernama badstofa dan hanya dipisahkan oleh ranjang-ranjang mereka. Atap rumah mereka menggunakan campuran rumput dan lumpur. Sepertinya penampakannya kurang lebih seperti ini:


Sumber: pixabay.com


Sejak awal pembaca sudah dibuat penasaran dengan sosok Natan Ketilsson yang menjadi korban pembunuhan oleh Agnes. Si playboy yang awalnya terkesan cerdas dan seakan-akan menawarkan kehidupan yang jauh lebih baik dan membuat Agnes meninggalkan lembah pertanian tempatnya menjadi pelayan, dan pindah ke daerah pantai di utara.  Menurutku orang ini mengidap gangguan psikologis yakni penyakit bipolar, ditilik dari bagaimana caranya memperlakukan orang lain.


Sepuluh halaman terakhir benar-benar membuatku merasa sesak dan menutup buku beberapa menit untuk melanjutkan kembali. Meskipun keluarga petani yang menampungnya mulai membuka diri, bahkan anak perempuan mereka yang sangat keras kepala bersedia memberikan benda kesayangannya untuk menemani Agnes dalam perjalanan terakhirnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya digiring menuju tempat eksekusi untuk dipenggal. Ditambah  dengan narasi penulis yang apik mendukung suasana sedih dan muram yang terbangun dalam cerita.


 Kami akan mengingatmu, Agnes.” Margret meremas tanganku lebih erat sampai aku nyaris memekik oleh rasa sakit. Dan tahu-tahu aku menangis.  Aku tidak ingin diingat. Aku ingin berada di sini! (Hal 394)


Sedikit kekurangannya yaitu, beberapa bagian cerita terkesan telling, bukannya showing. Sebab pada bagian itu Agnes yang menceritakan kehidupannya kepada Pendeta Toti. Namun, aku tidak terlalu mempermasalahkannya sebab teknik yang digunakan penulis ini diimbangi dengan berbagai kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya.


Aku merekomendasikan buku ini untuk penggemar cerita-cerita yang agak suram, yang memiliki detail sangat baik dalam menggambarkan daerah-daerah pertanian jaman dulu di Islandia Utara.
1 Response
  1. wah, beberapa kali liat di obralan tapi kupikir novel fantasi jadi gak diambil... Moga masih bisa ketemu lagi :) Makasih reviewnya