Review Novel: The Girl You Left Behind - Jojo Moyes

Judul                     : The Girl You Left Behind
Penulis                 : Jojo Moyes
Penerjemah          : Tanti Lesmana
Penerbit                : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit         : 2015
Tebal                     : 662 Halaman


Mulai mengenal nama Jojo Moyes setelah membaca cukup banyak review dan menonton sebuah film yang diadaptasi dari salah satu novelnya, yaitu Me Before You. Novelnya cukup booming di kalangan para pembaca Goodreads dan aku tidak ingin ketinggalan euforia yang dirasakan orang-orang tentang kisah ciptaan Moyes itu. Tapi karena udah nonton filmnya, aku malah memilih untuk membaca karya lain penulis yang sepertinya terbit dalam waktu yang tidak begitu jauh dari Me Before You.

Sumber: https://www.goodreads.com/photo/author/281810.Jojo_Moyes?page=1&photo=815750
Sumber: https://itunes.apple.com/us/book/me-before-you/id540063842?mt=11

Aku sudah menyiapkan diri untuk menyambut ending yang agak mengejutkan, menilik apa yang dilakukan penulis pada Me Before You. Tapi itu nggak akan aku bahas di sini, karena jatuhnya malah jadi spoiler.  


Novel ini terbagi menjadi dua bagian, di mana bagian pertama menggunakan setting tahun 1916 di St. Peronne, sedangkan bagian kedua di tahun 2006 di London. Yep jaraknya hampir seratus tahun dan penulis bisa-bisanya menghubungkan kedua kisah ini melalui sebuah lukisan “Gadis Yang Kautinggalkan”.

Kisah pertama menceritakan tentang kisah Sophie Lavefre, seorang wanita Prancis yang tinggal bersama seorang kakak, adik serta beberapa keponakan di hotel peninggalan orang tuanya. Saat itu St. Peronne berada dalam pendudukan Jerman, sehingga para pria dewasa yang berada di kota itu tengah ikut berjuang di garis depan atau tertangkap menjadi budak kerja paksa di kamp-kamp Jerman, termasuk Edouard, suaminya.


“Hanya sedikit kabar yang masuk ke kota kami. Dan tidak ada kabar yang keluar. Di suatu tempat di luar sana, Edouard mungkin sedang kelaparan, terkapar sakit oleh demam, atau sedang dipukuli.” –Sophie (hlm 159)
 Seorang Komandan baru Jerman, yang menunjuk hotel mereka sebagai tempat untuk menjamu para tentara Jerman  jatuh cinta setengah mati pada sebuah lukisan dirinya, karya suami Sophie sendiri. Sophie akhirnya berniat menggunakan lukisan itu untuk menyelamatkan suaminya, sampai ia mulai bertanya-tanya, apakah Sang Komandan  tertarik pada lukisan, atau objek dalam lukisan itu.


“Apakah lukisan itu bisa membeli kebebasan suami saya? Bisakah… bisakah saya membeli kebebasan suami saya?” –Sophie (hlm 168)

Kisah kedua menceritakan tentang Liv Halston yang tengah  berjuang bertahan hidup setelah ditingggal mati suaminya, David seorang arsitek sukses dan berbakat. Ia memiliki sebuah lukisan yang dibeli suaminya dari seorang wanita ketika berbulan madu di Barcelona. Ia begitu mencintai lukisan yang kata David, sangat menggambarkan bagaimana dirinya. 

Lalu kemudian, ketika ada pihak lain yang mengaku lebih berhak memiliki lukisan itu dibanding dirinya, Liv memilih untuk memperjuangkan lukisan itu mati-matian meskipun harus merelakan dirinya menerima kebencian dari orang-orang dii sekitarnya. Yah, lukisan itu adalah lukisan yang sama dengan lukisan milik wanita bernama Sophie, hampir seratus tahun lalu.


“Liv hidup dan bernapas bersama lukisan itu. Dia tidak menyadari Hari Natal sudah dekat, dia tidak menyadari telepon-telepon keluh kesah ayahnya. Seluruh tekadnya fokus pada satu hal: lukisan itu tidak boleh jatuh ke tangan Paul.” (hlm 404)

Benang merah yang melibatkan kedua kisah di atas ada dua. Pertama, lukisan “Gadis yang Kautinggalkan” dan kedua, kondisi kedua wanita yang sama-sama mengalami rasa kehilangan karena ditinggalkan suami mereka, meskipun dengan cara yang berbeda. Bagiku ini adalah kombinasi yang cukup unik dan hal itu pula yang membuatku cukup tertarik untuk membaca novel ini (disamping kovernya yang cantik).

Kedua wanita ini, Sophie dan Liv juga memiliki kesamaan dalam hal keteguhan hati serta keberanian dalam “memburu habis-habisan” apa yang mereka ingin pertahankan, tidak peduli harga yang harus dibayar untuk itu. Tipikal karakter wanita keras kepala yang selalu kusukai ketika digunakan dalam cerita, karena mereka akan menjadi penggerak cerita yang sangat potensial.

Bagian kedua novel yang fokus pada kehidupan Liv Halston, memiliki porsi yang lebih banyak dibanding bagian pertama. Sebab pada bagian ini terdapat flashback kehidupan Sophie Lavefre yang digunakan untuk memandu pembaca menebak-nebak kasus lukisan yang diperjuangkan Liv. Selain itu, flashback ini juga berguna untuk menjawab rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada Sophie, sebab bagian pertama berakhir dengan begitu banyak pertanyaan. Cara penulis menggabungkan kedua kisah ini cukup mulus dan bisa dikatakan berhasil.

Karakter-karakter kuat yang membangun cerita serta plot yang disusun dengan cukup matang menjadi kekuatan dari novel ini. Kejutan di bagian ending juga mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit tokoh-tokoh utama sejak awal. Konflik-konflik pendamping di kisah bagian kedua juga mendukung kekuatan cerita, yaitu dengan munculnya seorang pria yang berseberangan dengan Liv, namun menyimpan perasaan pada perempuan itu.

Meskipun demikian, ada beberapa adegan yang terkesan agak memanjang-manjangkan novel ini, yaitu tentang perjalanan Liv ke Le Coq Rouge yang tidak membuahkan hasil dan tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan  cerita. Selain itu ada  masalah yang belum sepenuhnya selesai –meskipun tadi kukatakan ‘penulis telah menyelesaikan berbagai persoalan’ tapi ternyata masih ada cabang yang tersisa– tentang bagaimana akhir dari penghakiman publik yang ditujukan pada Liv, serta dampaknya pada bangunan impian suaminya. Hal ini sekilas terlihat diabaikan dan dianggap selesai.


Novel setebal hampir 700 halaman ini memberikan pengalaman membaca yang cukup baru buatku dan aku cukup menikmatinya.  Akhir-akhir ini kecepatan membacaku berkurang drastis, sehingga saat membaca novel tebal, aku membutuhkan sebuah cerita yang memberikanku alasan untuk terus membaca dan tidak terjebak rasa bosan lalu akhirnya berhenti di tengah jalan. Untungnya novel ini menawarkan hal itu.
0 Responses