Bukan Lelaki Biasa


(Cerpen ini pernah dimuat di majalah Annida Online (22 Agt 2011) dan meraih Juara III dalam  Lomba Menulis Cerpen Islami tingkat Nasional yang diadakan ( Majalah Annida)
Selamat Membaca^^



Sepi bertengger pada malam
Mereka menyaksikan aku memulai legendaku sendiri
Kuhapus peluh dengan sisa asa yang lebam
Berharap aku mulai berhenti mencaci diri sendiri
***
Kulepas kacamata yang masih setia bertengger di hidungku. Sesekali kuamati jejeran mahasiswa yang duduk manis menghadapi lembaran kertasnya masing-masing. Mereka menampakkan wajah jemu dengan mata yang sesekali menggeliat setiap kali membaca kertas itu.
“Nomornya boleh nggak berurutan ya, Bu?” tanya seorang gadis yang duduk tepat di depanku. Aku hanya mengangguk. Tak sulit menerka isi kepalanya. Gadis itu hanya mengulur waktu, atau mungkin berharap aku akan mengulur waktu untuknya. 
Kutatap gadis yang kembali menekuni kertas jawabannya itu. Dia bahkan tidak tahu cara berpakaian normal untuk sekedar ke  kampus.  Bukan hanya dia, banyak mahasiswi di sini meng-copy gaya seperti itu, entah siapa sumber utamanya.
Pandanganku beralih pada jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul empat sore, aku belum sholat Ashar. Lagipula aku juga sudah berjanji akan membuatkan Es Pisang Ijo utuk ibu sebagai menu berbuka puasa hari ini. Aku menoleh ke arah Nila, mahasiswa tingkat akhir sekaligus asisten yang setia mendampingiku untuk mengawasi kuis hari ini. Aku memberi isyarat padanya untuk mengambil alih tempatku.  Nila segera mengiyakan. Meski kutahu gadis itu tidak akan benar-benar mengawasi mereka. Aku selalu menginginkan sesuatu yang sempurna, begitu kata ibu dan orang-orang.
Aku punya misi yang besar untuk kampus pencetak guru ini. Sebentar lagi aku akan diangkat menjadi dosen tetap. Semuanya berjalan mulus, seperti rencanaku. Tak ada sedikitpun rencana yang ketinggalan. Kuharap hingga akhir seperti itu.
***
Aku meninggalkan mesjid kampus dan bergegas menuju pasar tradisional yang tidak jauh dari tempat itu. Aku tidak akan punya banyak waktu berbelanja di pasar swalayan jika waktunya semepet ini. 
Kuamati sepatu yang kukenakan, mengkilat seperti biasa. Sepertinya anak kecil yang selalu berjaga di tempat penitipan alas kaki mesjid kampus itu bekerja dengan baik. Aku memberikannya empat lembar uang seribuan sebelum bergegas pergi. Anak itu bahkan meminjamiku payung ketika hujan. Payung berwarna hijau tua yang sudah lusuh.  Dan ia  hanya melakukan itu padaku saja, mungkin karena aku baik padanya.
Hari sudah hampir gelap. Aku berdiri di tepi jalan raya dan menyetop sebuah bentor(becak motor) di ujung jalan. Tidak ada taksi jenis apapun di tempat itu. Baru saja aku akan mengangkat barang belanjaan sebelum aku melihat sosok itu. Lelaki berwajah tirus yang sedang meniup sumpritan dan memainkan tangannya mengatur mobil dan angkot yang berseliweran di jalan raya. Badannya kurus namun kokoh. Terlihat dari urat yang menonjol di kulitnya.
Sesekali ia mengangguk senang jika ada mobil berplat hitam yang menyusupkan lembaran seribuan ke telapak tangannya, sesekali juga wajahnya merengut saat supir yang lain berteriak tak sabar ingin terbebas dari kemacetan.
Lelaki berkulit legam itu masih melakukan hal yang sama saat aku melintas di sampingnya. Bau keringat lelaki itu menelusup di hidungku. Lelaki itu tidak berubah. Ia masih sama. Membuat ulu hatiku terasa sakit saat melihatnya. Rasa sakitnya bahkan tidak berubah. Masih seperti dulu, saat aku meninggalkannya. Bukan aku, tapi saat lelaki itu membuatku meninggalkannya.
***
Hari sudah hampir gelap saat aku berdiri di tempat itu. Langit Makassar sudah berubah warna dari biru menjadi kelabu, sebentar akan berubah lagi. Aku merasa asing di tempat kelahiranku sendiri. Sudah sepuluh tahun aku meninggalkannya.
Di tempat yang sama seperti kemarin. Aku menunggu. Sepatuku sudah terkena debu pasar yang lumayan tebal. Padahal seperti biasa, aku selalu meninggalkan masjid kampus dengan sepatu yang hitam mentereng seperti baru.
Semoga lelaki itu muncul. Harapku dalam hati. Tuhan mengabulkannya. Lelaki itu terlihat berjalan serampangan dengan rompi oranye di tempat mangkal bentor yang tidak jauh dari tempat itu. Sebentar lagi ia akan melintas di depanku. Aku hanya menatapnya, dengan pandangan yang terlalu sederhana jika hanya disebut menatap.
Lelaki itu melihatku sedikit terkejut. Mungkin terkejut mendapati wanita dengan pakaian berkelas sedang memampatkan pandangan padanya. Keningnya berkerut.
“Kak Awan…,” sapaku pelan. Namun kuyakin cukup jelas di telinga lelaki itu.
“Ya?” lelaki itu memicingkan telinganya tidak yakin namanya disebut.
“Kakak tidak ingat saya?” tanyaku kemudian. Lelaki itu terdiam berpikir, mencari sesuatu pada wajahku yang mungkin bisa membawanya mengingat sesuatu di masa lalu.
“Kita saling kenal?” tanya lelaki bernama  Awan dengan nada bicara yang amat kukenal.
“Ibu kenal dengan saya?” tanyanya lagi, setelah sebelumnya aku masih kesulitan menjawabnya.
“Kak Awan, tidak kenal saya lagi?” tanyaku menekan. Ada getir yang bertahan di ujung kerongkonganku saat aku kembali menyebut nama lelaki itu. Dan getir itu berubah hambar saat lelaki itu menggeleng dan menatapku seperti orang aneh. Ia merogoh sumpritan tua dan topi merah luntur dari saku celananya. Kemudian berlalu. Begitu saja.
“Mungkin Ibu salah orang,” ujarnya singkat sebelum ia benar-benar berlalu. Aku begitu membenci lidahku yang saat itu bahkan tidak bisa mengatakan. “Saya Mala Kak, Rasmala.”
Tatapan matanya meredup saat wajahnya berpaling dariku. Kupikir karena ia ingat sesuatu, namun aku segera sadar kalau aku telah menghambat langkahnya.
***
Dari dulu, lelaki itu tidak pernah beruntung. 18 tahun lalu sebuah keluarga mengangkat kami dari jalanan. Seperti malaikat, ibu berhati peri seperti di dongeng berjanji akan menyekolahkan kami. Tapi, bukan salahku jika ibu memperlakukan kami berbeda. Aku benar-benar menjadi putri dambaan malaikat itu, sedangkan kakak kandungku, Kak Awan, setiap hari mendapat tugas dari ibu. Mencuci bajunya, bajuku dan pakaian penghuni rumah itu. 
Kak Awan tidak pernah bisa membaca seperti harapannya sebelum pindah ke tempat itu. Aku sendiri yang mengajarinya membaca. Gadis kecil berusia tujuh tahun  mengajarnya mengeja seperti apa yang guru ajarkan padanya di sekolah. Gadis kecil yang sangat disayanginya.
Semakin hari, tugas kakakku bertambah. Bukan hanya mencuci tapi juga mengurus kebun dan halaman. Aku tak mengerti mengapa aku tak mendapat tugas apapun. Mungkin karena wajahku yang polos dan manis, membuat ibu manapun di dunia akan bersedia memanggilku ‘anakku’.
Kak Awan meninggalkan rumah ibu tepat seperti bulan ini, Ramadhan menjemput kami saat itu. Setelah enam bulan berlalu. Aku mengikutinya, tak ingin berpisah dengannya. Namun, bukan salahku jika aku tak lagi menginginkan bubur asin sebagai menu dini hari dan es buah hambar  saat buka  puasa yang Kak Awan berikan buatku, sambil ia menelan liurnya sendiri.  Atau saat ia membelikan sepatu butut bekas berwarna norak itu untuk kupakai ke sekolah, aku hanya ingat sepatu hitam mengkilat yang ada di rumah ibu. Aku tidak salah, aku hanya terbiasa dengan kasih sayang ibu padaku.

Bukan salahku juga jika aku menyebut-nyebut nama ibu di sela igauan mimpiku, bukan lagi namanya. Bahkan aku masih tidak merasa bersalah saat aku meminta ibu untuk datang mengambil rapor pertamaku dan meninggalkan kakakku di luar gerbang sekolah. Aku tidak malu, hanya saja baju lusuhnya akan membuat teman-teman memandangku aneh. Aku tidak pernah suka pandangan itu.
Bukan salahku juga saat hari itu datang. Hari di mana ibu datang memintaku pada Kak Awan. Meminta untuk membuat hidupku lebih baik dibanding bersamanya. Aku berlari keluar gubukku dan memeluk ibu yang selalu kurindukan dan kumimpikan itu.
Salahkah jika aku lupa memeluk Kak Awan yang berdiri memandangku di pintu rapuh gubuk kami dengan tangan yang bergetar?  Ia merelakan aku pergi. Itu salahnya. Tapi mengapa aku tidak memeluknya di hari itu? Karena aku tidak tahu, kalau aku akan enggan datang lagi ke tempat itu.
18 tahun itu berlalu dengan cepat. Selama itu aku ingin belajar lebih dari sekedar bisa mengeja. Selama itu pula aku lupa padanya. Pada salah satu malaikatku yang menjagaku bahkan saat ibu tak ingin menjagaku.
Azan maghrib berkumandang kini. Ibu pasti menungguku untuk berbuka bersamanya di rumah. Ibuku selalu kesepian tanpaku, bahkan saat ia berada dalam keramaian.
***
“Bu, aku ketemu Kak Awan kemarin di dekat pasar,” ujarku seusai sholat maghrib dan menemani ibuku nonton sinetron ramadhan kesukaannya.
“Oh, ya? Bagaimana dia sekarang?” ia masih menatap layar TV, sesekali mengganti channel jika iklan ditampilkan.
“Dia baik,” mungkin. Aku menyambungnya dalam hati.
Tidakkah ibu ingin mengatakan sesuatu padaku? Tentang penyesalan karena membiarkannya pergi begitu saja? Aku terlalu sayang pada ibu, bahkan untuk menanyakan itu rasanya tak bisa.
“Ibu tidak rindu dia?” tanyaku akhirnya. Ibu tersenyum lembut.
“Tentu saja. Dia pernah tinggal bersama kita, bukan?”  Aku mengangguk mengiyakan. Namun jawaban itu tak membuatku puas. Lamat-lamat kutatap ia sambil menunggunya mengatakan sesuatu.
“Ibu mengerti maksud kamu, Mala. Tapi kadang-kadang kita tak butuh lelaki untuk hidup. Bukankah kita bisa seperti ini tanpa ayahmu? Mereka selalu punya keinginan untuk meninggalkan orang-orang yang menyayanginya. Ibu cuma takut, takut menyayangi dan ditinggalkan. Seperti dulu.”
Aku menatap matanya, bukan mata culas yang tampak di sana. Ibu hanya terlalu takut untuk memulai. Tapi tetap saja, ia tak selalu benar.
***
Aku mengurung diri di masjid, tidak ingin lekas pulang ke rumah. Kemarin aku mengungkit nama Kak Awan di depan ibu dan ia tak mengatakan sesuatu yang berarti. Ia mungkin sudah lupa, seperti Kak Awan yang lupa padaku. Begitu besarkah kesalahanku padanya, sehingga ia menghilangkanku dari ingatannya?
Kukeluarkan ponsel dari tasku dan mengetik pesan untuk ibu kalau aku akan berbuka puasa di kampus.
Langit belum juga gelap. Aku berpesan pada anak penjaga di luar masjid untuk mengamankan sepatuku. Aku berencana akan buka puasa di sini. Lagi pula sepertinya di luar sedang gerimis. Aku meluruskan leherku setelah menghadapi beberapa lembar ayat-ayat Al-Qur’an yang harus kukhatamkan sebelum akhir Ramadhan. Sesekali aku menengok keluar pada langit yang memerah butiran air dengan pelan.
Aku memicingkan mata melihat sosok itu melintas memasuki halaman masjid. Aku berjalan dan mengintipnya dari jendela, belum bisa aku memulai untuk membuatnya mengenaliku. Semoga waktu membuatnya sadar dan mengingat gadis kecil yang dulu ia sayangi. Ia berbicara pada penjaga kecil yang berjaga di tempat penitipan alas kaki. Sekarang jarakku kurang lebih 2 meter dari tempatnya.
Aku bermaksud menghampirinya ketika kulihat penjaga kecil itu menyerahkan sebuah sepatu padanya. Sepatu hitam berdebu yang kupakai sejak pagi tadi. Ia meletakkan sepatu itu di pangkuannya. Mengeluarkan lap dari saku bajunya dan membersihkan sepatu itu dengan teliti di setiap lekuknya. Ia meniup kulit sepatu dengan bibirnya yang kering. Ia mengelus benda itu dan meletakkannya pada tempatnya.
Kuingat ia melakukannya belasan tahun lalu. Saat aku ingin sepatu hitam mengkilat, ia mengecat sepatuku dengan warna hitam seperti yang kuinginkan. Ia tahu aku selalu ingin sepatu hitam mengkilat di rumah ibu. Ia mengelapnya setiap hari, berharap aku memakainya, tapi sandal jepitku bahkan terlihat lebih bagus dari pada sepatu itu.
Lelaki itu berdiri dan tersenyum pada penjaga kecil. Lelaki itu mengeluarkan payung hijau tua dari kantong plastik  yang dijinjingnya saat datang tadi lalu meletakkannya di teras masjid.  Penjaga kecil itu menatap punggungnya dan berteriak.
“Kak! Sebentar lagi hujan berhenti. Bu Mala kayaknya tidak butuh payung hari ini,” teriak anak itu. Lelaki itu tersenyum. Kakakku tersenyum, senyum yang berbeda seperti dulu. Saat aku meninggalkannya dengan tangan yang bergetar di pintu gubuk kami yang rapuh.
Kau tahu bagaimana rasanya menatap punggungnya yang kokoh itu? Rasanya seperti  malu dan sakit yang tiba-tiba bersarang di jantungmu, dan kau kesulitan menghentikannya. Adzan Maghrib sebentar lagi berkumandang. Wanita-wanita sibuk mengatur hidangan di lantai masjid. Aku masih mendekam di dekat sudut ruangan, menahan tangis.
Kak, aku mau rambutku dikepang… Kayak rambutnya  Mei!” teriakku dengan seragam sekolah yang mulai kusut akibat terseok-seok di dipan bambu kami. Aku sangat senang melihat rambut Mei yang selalu rapi walau ditiup angin, rambutnya selalu dikepang. Kak Awan tak tahu mengepang rambutku, ia hanya tahu menguncir rambut seadanya. Kak Awan hanya menatapku sendu dari balik tirai plastik  dapur yang transparan. Dia bahkan tak tahu memasang pita biru muda di rambutku.
Bagaimanapun, seorang gadis yang mulai tumbuh selalu butuh ibu. Aku lupa, kalau aku adalah seorang adik, yang ternyata selalu butuh seorang kakak.
Aku mulai merasa bersalah. (*)

Butuh penglihatan hati, untuk dapat menghargai apa-apa yang dalam penglihatan mata terlihat tak berharga...
Sumber: http://annida-online.com/artikel-3821-bukan-lelaki-biasa.html
0 Responses